Karena ia mencintai dia, dan dia menyukai hujan,
maka ia menciptakan hujan untuk dia .1
Begitulah hujan itu turun dari langit bagaikan
tirai kelabu yang lembut dengan suara yang menyejukkan. Dia sudah tahu saja
dari mana hujan itu datang.duduk di depan jendela, diusapnya kaca jendela yang
berembun. Jari-jari-nya yang mungil mengikuti aliran air yang menurun perlahan
di kaca itu.
”Hujan, o hujan …” Dia berbisik.
Dia begitu berbahagia menyadari cinta kekasihnya
yang begitu besar, sehingga menjelma hujan yang selalu dirindukannya. Dia tahu
betapa ia selalu memberikan yang terbaik untuk dirinya. Dia terharu dengan
cinta yang membuat segala benda dan peristiwa menjadi bermakna. Dia memandang
keluar jendela, menembus tirai kelabu, melewati desau pohon-pohon bambu yang
basah dan berkilat dalam hujan dan angin, mengirimkan getaran cinta yang
melesat sepanjang langit mnuju kekasihnya di balik kabut. Kilat berkeredap dan
guntur menggelegar diatas gunung dalam pertemuan cinta yang panas dan membara.
Hujan itu tidak pernah meninggalkan dia lagi. Hujan
itu selalu mengikutinya ke mana pun dia pergi. Ke mana pun dia datang, datang
pula hujan ke tempat itu. Sambil menyetir, dari dalam mobil selalu diusapnya
kaca jendela. Dingin hujan itu dirasakannya sebagai dekapan hangat kekasihnya.
Cinta itu abstrak, pikirnya selalu, sepasang kekasih tidak usah selalu bertemu,
selalu berciuman, dan selalu bergumul untuk mempersatukan diri mereka. Cinta
membuat sepasang kekasih saling memikirkan dan saling merindukan, menciptakan
getaran cinta yang merayapi partikel udara, melucur dan melaju ke tujuan yang
sama dalam denyutan semesta. Dari milan, dari Kyoto, dari Jakarta…
Terkadang dibukanya jendela mobil, ditadahinya air
hujan dengan tangannya, lantas direguknya. Begitulah caranya cinta meresap
kedalam tubuh, menjadi bagian dari alam. Meskipun bukan musim hujan, selalu ada
hujan yang turun hanya untuk dirinya. Bila dia keluar rumah, lenyap pula
hujan. Hujan itu mengikuti mobilnya sepanjang jalan. Sepanjang jalan yang
dilaluinya menjadi basah karena hujan, dan hanya jalan yang dilaluinya saja
menjadi basah dan sejuk sebentar karena hujan yang turun ke bumi mengikuti dia
atas nama cinta.
”Heran,” kata pembantu rumah tangga di rumahnya,
”setiap kali ibu pergi, hujan berhenti, kalau Ibu datang, hujan lagi.”
”Heran,” kata kawan-kawannya, ”belakangan ini, asal
kamu datang pasti hujan, kamu pergi hujan hilang. Padahal bukan musim hujan.”
Suaminya, yang selalupeka terhadap suasana hati
istrinya, menadahi air hujan itu, dan membawanya ke laboratorium.
”Ah, ini hujan karena cinta,” katanya kemudian,
”siapa lagi yang jatuh cinta kali ini?”
Dia terkesiap dalam hati. Tapi wajahnya dingin
saja.
”Tidak ada apa-apa. Kenapa sih?”
”Kamu kira bisa menutupi perasaanmu yang berbunga-bunga?”
Dia diam saja. Memang hatinya berbunga-bunga.
Diluar hujan masih saja menderas. Air hujan menganak sungai disela-sela rumput, dedaunan basah dan bergoyang-goyang. Tanpa diketahui suaminya dia mengusap seluruh embun disetiap kaca jendela rumah dengan kedua telapak tangannya., lantas membasuh wajahnya. Tubuhnya bergetar dan jiwanya menangis karena terharu. Hujan yang sangat disukainyatak pernah lenyap lagi dari hidupnya. Kekasihnya yang tak terlihat telah mengirimkannya dari jauh atas nama cinta, hanya untuk dirinya saja.
Diluar hujan masih saja menderas. Air hujan menganak sungai disela-sela rumput, dedaunan basah dan bergoyang-goyang. Tanpa diketahui suaminya dia mengusap seluruh embun disetiap kaca jendela rumah dengan kedua telapak tangannya., lantas membasuh wajahnya. Tubuhnya bergetar dan jiwanya menangis karena terharu. Hujan yang sangat disukainyatak pernah lenyap lagi dari hidupnya. Kekasihnya yang tak terlihat telah mengirimkannya dari jauh atas nama cinta, hanya untuk dirinya saja.
”Hujan, o hujan” desahnya sembari memandang keluar
jendela setiap malam.
***
Kemudian tibalah saat ketika cinta diantara dia dan
ia memudar. Sebarapa lama sih umur cinta? Hujan yang semula mewakili perasaan
cinta yang dahsyat itu sekarang terasa sangat menganggu.
”Cinta kita sudah berakhir, kenapa hujan itu masih
saja mengikuti aku ke mana-mana? Lihat semua orang jadi terganggu. Setap
keluar mobil aku harus pakai payung. Jalan-jalan di halaman rumah sendiri harus
pakai jas hujan. Gimana dong? Kasihan tamu-tamuku. Dimana-mana asal orang
berurusan denganku menjadi kehujanan dan basah. Bisa nggak kamu tarik hujanmu
ini?”
”Mana bisa? Hujan itu akan selalu ada selama aku
masih mencintai kamu.”
”Kamu kira aku senang dicintai kamu? Nggak usah
cinta-cintaan lagilah. Tarik hujanmu ini.”
”Sudah kubilang, selama aku mencintai kamu, tidak
bisa.”
”Kalau begitu jangan mencintai aku. Bikin repot
saja.”
”Bukan salahku. Siapa yang cintanya memudar? Dulu
minta-minta dikasih hujan, sekarang omongannya begitu.”
”Bukan salahku aku tidak mencintai kamu lagi. Cewek
seabreg begitu. Mana kutahu kamu tetap setia?”
”Aku tetap setia. Menyentuh pun aku tidak pernah.”
”Bukan itu ukuran kesetiaan”
”Apa dong?”
”Sudah kubilang cinta itu abstrak.”
”Tidak.”
”Menurut kamu?”
”Cinta itu konkret.”
”Buktinya?”
”Hujan itu.”
Ia dan dia betengkar sampai malam sambil minum bir
plethok. Aneh sekali. Mereka bahagia dalam pertengkaran itu. Barangkali karena
mabuk.
”Setidaknya kita masih punya perasaan,” meraka
merumuskan setangah mabuk.
Namun hubungan mereka tidak tertolong. Semenjak pertemuan terakhir itu, ia dan dia tidak pernah berjumpa lagi. Meskipun begitu hujan itu tetap mengiringi dia. Perempuan itu selalu bisa melihatnya dari balik jendela loteng, dimana dia mengalihkan cintanya melalu e-mail ke seluruh dunia.
Namun hubungan mereka tidak tertolong. Semenjak pertemuan terakhir itu, ia dan dia tidak pernah berjumpa lagi. Meskipun begitu hujan itu tetap mengiringi dia. Perempuan itu selalu bisa melihatnya dari balik jendela loteng, dimana dia mengalihkan cintanya melalu e-mail ke seluruh dunia.
”Masih cinta juga tuh si doi sama istri
macam kamu?” suaminya menyindir.
Dia tak pernah menjawab. Tapi dia tahu jika ia
masih mencintainya.
***
Sulit sekali bagi ia untuk tidak mencintai dia.
Selama itu pula ia tidak mampu menarikkembali hujan cintanya yang menderas dari
langit.
”Pikirkan saja istri kamu,” kata istrinya yang
menangkap kegelisahan suaminya, ”jangan istri orang lain jadi beban pikiran.”
Ia tak pernah menjawab, karena tidak ada yang bisa
dijelaskan. Setiap kali ia melewati jalan layang yang terlihat di mana sepetak
hujan itu berada, tapi ia sudah tidak menghendaki perjumpaan macam apapun.
Hatinya hancur berantakan seperti keramik jatuh ke landasan dari pesawat kargo
yang sedang take off. Dengan kesal dihapusnya nomor-nomor telepon dia
dari hand-phone, namun ini hanya membuat ia semakin kesal, karena toh
masih hapal juga. Terlalu banyak hal dari dia telah meresap kedalam dirinya dan
tak mungkin dihapus untuk selama-lamanya. Gambar-gambar, foto-foto, kata-kata.
Waktu meninggalkan jejak, begitu pula saat-saat yang dilaluinya bersama dia.
Segenap makna perjumpaanya meresap kedalam hatinya dan ia tidak bisa melupakan
dia. Ia tak bisa lagi memandang segala sesuatu didunia ini seperti sebelum
berjumpa dengan dia, ia tak bisa lagi berpikir di luar cara berpikir seperti
dia. Mereka telah berpisah, tapi tidak terpisahkan. Begitukah caranya cinta
berada? Pikirnya. Tapi setiap kali berpikir ia teringat dia. Maka ia berusaha
berhenti berpikir. Ia marah sekali dengan cinta.
”Taik kucing dengan cinta,” umpatnya dalam hati.
Namun pada suatu senja yang gemilang, cinta jualah
yang menyelamatkanya, ketika seorang dia yang lain muncul kembali dari balik
kenangan yang sudah terhapus. Dia tidak berkata apa-apa, seperti kutipan sebuah
saja: Tidak ada janji | pada pantai.2
Ia pun tahu, tak ada janji pada perjumpaan yang
manapun – tapi janji-janji memang tidak diperlukannya, karena janji sebuah
cinta yang paling mebara sekali pun hanyalah janji seuatu senja yang terindah.
Kecuali di negeri senja, adakah senja yang tidak berakhir?
”kuberikan segalanya untukmu,” katanya kepada dia,
”kuberikan cintaku, jiwaku, hidupku, apa saja yang kau mau.”
Dia hanya tersenyum menghela napas, memandang senja
yang dipantulkan kaca-kaca gedung bertingkat.
”Lihatlah senja di kaca gedung itu,” kata ia kepada
dia.
”Kenapa?”
”Bila engkau melewati jalan ini, senja itu masih
akan berada disana, selama-lamanya.”
”Bisa?”
”Bisa sekali, selama engkau masih mencintaiku.”
”Aku tidak pernah mengatakan apa-apa kepadamu.”
”Tidak perlu. Senja itu sudah mengatakannya.”
Dia melihat langit senja yang menjadi abadi di
kaca-kaca gedung bertingkat itu. Dia tahu betapa sulitnya melihat matahari
tenggelam di Jakarta. Tapi kini ia telah mengabadikan senja ke kaca-kaca gedung
bertingkat untuk dirinya saja. Dia bahagia sekali, namun tidak bisa berkata
apa-apa. Ia pun tidak berkata apa-apa.
Mereka berdua menatap langit, kubah senja yang
merah membara bagaikan sebuah impian yang menjanjikan bahwa Negeri Senja memang
betul-betul ada. Tapi langit yang semburat kemerah-merahan itu hanyalah sebuah
janji yang sebaliknya. Setiap detik terjadi perubahan warna, dari merah yang
membara sampai memancar keemas-emasan ketika matahari mestinya telah terbenam.
Mereka tak bisa melihat matahari di balik gedung. Senja yang keemasan-emasan
itu kemudian dengan pasti menggelap, semakin gelap, dan menjadi malam. Bagi
mereka yang terbiasa mengamati senja, akan selalu tahu bahwa senja belum
betul-betul berakhir ketika matahari terbenam, dan senja masih juga
berbisiki-bisik ketika langit jadi gelap dan permukaan air laut yang tadinya
berwarna emas seolah-olah mendadak lenyap, tinggal kecipak suara lidah ombak.
Pada saat seperti itu, sebuah renungan telah mencapai kesimpulannya.
Namun mereak tidak berada di pantai. Mereka di
tengah kemacetan jakarta yang tidak membri peluang untuk kalimat yang – seperti
kutipan sebuah sajak–-bisa berlarat-larat .3
”Mengapa kita tidak mencari bir plethok,” ujar
perempuan itu.
Ia mengangguk. Ia berkesimpulan, banyak perempuan Jakarta
suka bir plethok.4
***
***
Dia memandang keluar jendela lagi pagi itu. Sudah
beberapa minggu ini diperhatikannya hujan itu berubah, dulunya lumayan deras,
sekarang kederasannya lumayan berkurang, meski belum jadi gerimis.
”Apakah cintanya mulai berkurang?” pikirnya.
Kali ini dia sendiri yang menadahi air hujan itu
dengan sebuah gelas, dan membawanya ke laboratorium.
Cinta mulai berkurang. Begitu tertulis
dalam kertas laporan, dan dia merasa kecewa. Aneh, dia sendiri yang dahulu
menolak hujan itu, dan sekarang ketika hujan itu menujukkan tanda-tanda mereda,
dia merasa penasaran.
”Kenapa cintanya bisa berkurang? Cinta itu mestinya
abadi dong!”
Dengan setengah panik dia memencet-mencet
handphone, tapi tiada jawaban. Dia kirimkan sebuah lagu kelompok Queen melewati
voice mail. Sebuah lagu yang menjerit:I Stil Love Youuuu! 5
Tapi semuanya sudah terlambat. Pada senja hari itu
juga hujan yang selalu mengikuti kemana pun ia pergi berubah menjadi gerimis
dan akhirnya berhenti sama sekali.
”Hujan, o hujan, kemana kamu hujan,” desahnya
Pada senja hari itu dia menatap keluar dari jendela
lotengnya, dilihatnya langit yang kemerah-merahan. Langit begitu cerah. Hujan
sduah berhenti. Dia tahu betapa ia menyukai langit senja yang kemerah-merahan
seperti itu. Dia ingin mengirimkan senja itu kepadanya, sebagai tanda bahwa dia
masih mencintainya – mungkin cintanya memang masih ada sedikit, mungkin agak
banyak, mungkin pula hatinya tak pernah berubah sebetulnya, tak jelaslah. Saat
itu, detik itu, dia ingin sekali.
Dia menatap langit senja di kejauhan sana, dan tahu itu bukan miliknya. Dia menghela napas dan berusaha mengatasi perasaanya.
”Mungkin aku terlalu sentimentil,” pikirnya.6
Pondok Aren, Minggu 30 Juli 2000.
Dia menatap langit senja di kejauhan sana, dan tahu itu bukan miliknya. Dia menghela napas dan berusaha mengatasi perasaanya.
”Mungkin aku terlalu sentimentil,” pikirnya.6
Pondok Aren, Minggu 30 Juli 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar