Kiplik sungguh mengerti, betapapun semua itu tentunya hanya dongeng.
“Mana ada orang bisa berjalan di atas air,” pikirnya.
Namun, ia memang berpendapat bahwa jika seseorang ingin
membaca doa, maka ia harus belajar membaca doa secara benar.
”Bagaimana mungkin doanya sampai jika kata-katanya
salah,” pikir Kiplik, ”karena jika kata-katanya salah, tentu maknanya berbeda,
bahkan jangan-jangan bertentangan. Bukankah buku Cara Berdoa yang Benar
memang dijual di mana-mana?”
Adapun dongeng yang didengarnya menyampaikan pesan,
betapa siapa pun orangnya yang berdoa dengan benar, akan mampu berjalan di atas
air.
Kiplik memang bisa membayangkan, bagaimana kebesaran jiwa
yang dicapai seseorang setelah mampu membaca doa secara benar, akan membebaskan
tubuh seseorang dari keterikatan duniawi, dan salah satu perwujudannya adalah
bisa berjalan di atas air.
Namun, ia juga sangat sadar sesadar-sadarnya, pembayangan
yang bagaimanapun, betapapun masuk akalnya, tidaklah harus berarti akan
terwujudkan sebagai kenyataan, dalam pengertian dapat disaksikan dengan mata
kepala sendiri.
”Dongeng itu hanyalah perlambang,” pikirnya, ”untuk
menegaskan kebebasan jiwa yang akan didapatkan siapa pun yang berdoa dengan
benar.”
Justru karena itu, semenjak Kiplik memperdalam ilmu
berdoa, kepada siapa pun yang ditemuinya, ia selalu menekankan pentingnya
berdoa dengan benar. Adapun yang dimaksudnya berdoa dengan benar bukanlah
sekadar kata-katanya tidak keliru, gerakannya tepat, dan waktunya terukur,
selain tentu saja perhatiannya terpusat, melainkan juga dengan kepercayaan yang
mendalam dan tak tergoyahkan betapa sedang melakukan sesuatu yang benar, sangat
benar, bagaikan tiada lagi yang akan lebih benar.
Kebahagiaan yang telah didapatkannya membuat Kiplik
merasa mendapatkan suatu kekayaan tak ternilai, dan karena itulah kemudian ia
pun selalu ingin membaginya. Setiap kali ia berhasil membagikan kekayaan itu,
kebahagiaannya bertambah, sehingga semakin seringlah Kiplik menemui banyak
orang dan mengajarinya cara berdoa yang benar.
Ternyata tidak sedikit pula orang percaya dan merasakan
kebenaran pendapat Kiplik, bahwa dengan berdoa secara benar, bukan hanya karena
cara-caranya, tetapi juga karena tahap kejiwaan yang dapat dicapai dengan itu,
siapa pun akan mendapatkan ketenangan dan kemantapan yang lebih memungkinkan
untuk mencapai kebahagiaan.
Demikianlah akhirnya Kiplik pun dikenal sebagai Guru Kiplik.
Mereka yang telah mengalami bagaimana kebahagiaan itu dapat dicapai dengan
berdoa secara benar, merasa sangat berterima kasih dan banyak di antaranya
ingin mengikuti ke mana pun Kiplik pergi.
”Izinkan kami mengikutimu Guru, izinkanlah kami mengabdi
kepadamu, agar kami dapat semakin mendalami dan menghayati bagaimana caranya
berdoa secara benar,” kata mereka.
Namun, Guru Kiplik selalu menolaknya.
”Tidak ada lagi yang bisa daku ajarkan, selain mencapai
kebahagiaan,” katanya, ”dan apalah yang bisa lebih tinggi dan lebih dalam lagi
selain dari mencapai kebahagiaan?”
Guru Kiplik bukan semacam manusia yang menganggap dirinya
seorang nabi, yang begitu yakin bisa membawa pengikutnya masuk surga. Ia hanya
seperti seseorang yang ingin membagikan kekayaan batinnya, dan akan merasa
bahagia jika orang lain menjadi berbahagia karenanya.
Demikianlah Guru Kiplik semakin percaya, bahwa berdoa
dengan cara yang benar adalah jalan mencapai kebahagiaan. Dari satu tempat ke
tempat lain Guru Kiplik pun mengembara untuk menyampaikan pendapatnya tersebut
sambil mengajarkan cara berdoa yang benar. Dari kampung ke kampung, dari kota
ke kota, dari lembah ke gunung, dari sungai ke laut, sampai ke negeri-negeri
yang jauh, dan di setiap tempat setiap orang bersyukur betapa Guru Kiplik
pernah lewat dan memperkenalkan cara berdoa yang benar.
Sementara itu, kadang-kadang Guru Kiplik terpikir juga
akan gagasan itu, bahwa mereka yang berdoa dengan benar akan bisa berjalan di
atas air.
”Ah, itu hanya takhayul,” katanya kepada diri sendiri
mengusir gagasan itu.
***
Suatu ketika dalam perjalanannya tibalah Guru Kiplik di
tepi sebuah danau. Begitu luasnya danau itu sehingga di tengahnya terdapatlah
sebuah pulau. Ia telah mendengar bahwa di pulau tersebut terdapat orang-orang
yang belum pernah meninggalkan pulau itu sama sekali. Guru Kiplik membayangkan,
orang-orang itu tentunya kemungkinan besar belum mengetahui cara berdoa yang
benar, karena tentunya siapa yang mengajarkannya? Danau itu memang begitu luas,
sangat luas, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih luas, seperti lautan saja
layaknya, sehingga Guru Kiplik pun hanya bisa geleng-geleng kepala.
”Danau seluas lautan,” pikirnya, ”apalagi yang masih bisa
kukatakan?”
Maka disewanya sebuah perahu layar bersama awaknya agar
bisa mencapai pulau itu, yang konon terletak tepat di tengah danau, benar-benar
tepat di tengah, sehingga jika pelayaran itu salah memperkirakan arah, pulau
itu tidak akan bisa ditemukan, karena kedudukannya hanyalah bagaikan noktah di
danau seluas lautan.
Tiadalah usah diceritakan betapa lama dan susah payah
perjalanan yang ditempuh Guru Kiplik. Namun, akhirnya ia pun sampai juga ke
pulau tersebut. Ternyatalah bahwa pulau sebesar noktah itu subur makmur begitu
rupa, sehingga penghuninya tiada perlu berlayar ke mana pun jua agar dapat
hidup. Bahkan, para penghuninya itu juga tidak ingin pergi ke mana pun meski
sekadar hanya untuk melihat dunia. Tidak terdapat satu perahu pun di pulau itu.
”Jangan-jangan mereka pun mengira, bahwa dunia hanyalah
sebatas pulau sebesar noktah di tengah danau seluas lautan ini,” pikir Guru
Kiplik.
Namun, alangkah terharunya Guru Kiplik setelah
diketahuinya bahwa meskipun terpencil dan terasing, sembilan orang penduduk
pulau sebesar noktah itu di samping bekerja juga tidak putus-putusnya berdoa!
”Tetapi sayang,” pikir Guru Kiplik, ”mereka berdoa dengan
cara yang salah.”
Maka dengan penuh pengabdian dan perasaan kasih sayang
tiada terkira, Guru Kiplik pun mengajarkan kepada mereka cara berdoa yang
benar.
Setelah beberapa saat lamanya, Guru Kiplik menyadari
betapa susahnya mengubah cara berdoa mereka yang salah itu.
Dengan segala kesalahan gerak maupun ucapan dalam cara
berdoa yang salah tersebut, demikian pendapat Guru Kiplik, mereka justru
seperti berdoa untuk memohon kutukan bagi diri mereka sendiri!
”Kasihan sekali jika mereka menjadi terkutuk karena cara
berdoa yang salah,” pikir Guru Kiplik.
Sebenarnya cara berdoa yang diajarkan Guru Kiplik
sederhana sekali, bahkan sebetulnya setiap kali mereka pun berhasil menirunya,
tetapi ketika kemudian mereka berdoa tanpa tuntunan Guru Kiplik, selalu saja
langsung salah lagi.
”Jangan-jangan setan sendirilah yang selalu menyesatkan
mereka dengan cara berdoa yang salah itu,” pikir Guru Kiplik, lagi.
Guru Kiplik hampir-hampir saja merasa putus asa. Namun,
setelah melalui masa kesabaran yang luar biasa, akhirnya sembilan orang itu
berhasil juga berdoa dengan cara yang benar.
Saat itulah Guru Kiplik merasa sudah tiba waktunya untuk
pamit dan melanjutkan perjalanannya. Di atas perahu layarnya Guru Kiplik merasa
bersyukur telah berhasil mengajarkan cara berdoa yang benar.
”Syukurlah mereka terhindar dari kutukan yang tidak
dengan sengaja mereka undang,” katanya kepada para awak perahu.
Pada saat waktu untuk berdoa tiba, Guru Kiplik pun berdoa
di atas perahu dengan cara yang benar.
Baru saja selesai berdoa, salah satu dari awak perahunya
berteriak.
”Guru! Lihat!”
Guru Kiplik pun menoleh ke arah yang ditunjuknya.
Alangkah terkejutnya Guru Kiplik melihat sembilan orang penghuni pulau tampak
datang berlari-lari di atas air!
Guru Kiplik terpana, matanya terkejap-kejap dan mulutnya
menganga. Mungkinkah sembilan penghuni pulau terpencil, yang baru saja
diajarinya cara berdoa yang benar itu, telah begitu benar doanya, begitu benar
dan sangat benar bagaikan tiada lagi yang bisa lebih benar, sehingga mampu
bukan hanya berjalan, tetapi bahkan berlari-lari di atas air?
Sembilan orang penghuni pulau terpencil itu berlari cepat
sekali di atas air, mendekati perahu sambil berteriak-teriak.
”Guru! Guru! Tolonglah kembali Guru! Kami lupa lagi
bagaimana cara berdoa yang benar!”
Ubud, Oktober 2009 /
Kampung Utan, Agustus 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar