Konon waktu akan mampu mengurai segalanya, membuat
air keruh menjadi kembali bening. Namun saat ini waktu gagal mengurai
kepedihanku padamu. Malah membuatku berkhianat pada janji untuk tidak menemuimu
lagi sampai mati. Tapi, rasanya terlalu berat bagiku menafikan kesempatan
melihat wajahmu sedekat sekarang. Walau tidak lagi sesegar dulu, namun sorot
mata tajam dan cemerlang itu sepertinya tak pernah bisa kulupakan.
Ingatanku seolah segar kembali menoleh ke belasan
tahun lalu, sewaktu penguasa paling lama di negeri ini jatuh. Kita pernah
sama-sama dilempar ke dalam truk polisi karena dianggap menolak dan berkata
tidak pada kekuasaan. Setelah peristiwa itu aku sudi lagi turun ke jalan
berurusan dengan tongkat pemukul dan sepatu laras yang membuat pinggangku memar
berhari-hari. Waktu itu kau juga mengurusi pinggangku. Sempat malu juga aku
diuruti olehmu dengan setengah telanjang di antara kawan lain menyoraki kita di
markas polisi. Untungnya hanya 24 jam kita diinterogasi. Mereka belum punya
cukup alasan menahan lebih lama.
Mungkin lebih tepatnya telah pusing mengurusi kita.
Mereja seolah dipekerjakan dalam kantornya sendiri. Direpotkan dengan mengurusi
makan minum kita. Sudah begitu masih ditambah mendengarkan omongan sekenanya pula.
Menambah pekerjaan bila saja menahan lama-lama mungkin pikir mereka.
Setelah peristiwa itu kau masih kuperhatikan tetap
rajin dalam aksi-aksi selanjutnya. Masih kokoh merapat dalam barisan. Masih
berteriak sambil mengepalkan tinju. Dan tetap lantang menyanyikan mars
pembangkan ketidakadilan para penguasa; kita pasti menang!
Kadang aku menerka-nerka, betulkan kau waktu itu
bicara atas nama orang-orang kalah, bukan karena gelisah mencari jati diri.
Bila saja sempat kutanyakan hal ini padamu, pasti matamu seolah keluar dari
kelopaknya, lali dengan ganas menyerangku sambil mengutip kalimat Mark sampai
Andre Gunder Frank. Sumpah, kadang aku suka pada bagian dirimu itu. Berapi-api
dan gagah. Pantas saja kau sering mendapat tugas sebagai koorlap sewaktu aksi.
Kau seperti Yeni Rosa Damayanti, anak tentara yang menolak jika penderitaannya
dalam penjara terlalu dibesarkan dan mengaku malu pada kawan lain yang telah
menyerahkan nyawa untuk perjuangan ini.
“Aku hanya perempuan biasa yang mencoba membuktikan
bahwa sekarang ini adalah abad perempuan. Juga berusaha dengan cara apa pun
agar kami tidak hanya dipandang seperti sekerat daging,” katamu dengan nada
tinggi.
Lalu aku pasti akan terburu mengiyakan, khawatir
kalimatmu kepanjangan. Bila tidak, kau pasti dengan sukacita siap berperang
kata denganku. Bisa hancur berantakan pertemanan kita bila kuladeni segala
keberangasanmu itu. Padahal paling tidak, perlu waktu satu bulan berjauhan
sebelum kita saling menyapa lagi.
Kau memang tipe perempuan yang mengandalkan mulut besar.
Aku paham itu. Tak mungkin rasanya kau bisa terlibat dalam organisasi kampus,
LSM, dan organisasi lain di masyarakat bila hanya mengandalkan bicara dan
bentuk fisikmu yang cantik. Tak ada suatu hasil terbaik tanpa konkret
diperjuangkan, no pain no gain! ujarmu.
Wajahmu terlihat bersemangat ketika bercerita
tentang seorang Nadine Gordimer, perempuan kulit putih pemenang Nobel Sastra
dari negara Nelson Mandela, yang gelisah melihat ketidakadilan kaumnya pada
penduduk asli Afrika Selatan. Dia menghantam apartheid dalam novel-novelnya
sehingga ia kemudian harus rela kerap terjaga tengah malam karena pengerebekan
keamanan setempat untuk ditahan. Hal yang seharusnya tidak ia alami bila hanya
menulis novel biasa tanpa menyinggung apartheid.
Mungkin kegelisahan semacam itu yang membuatmu
tabah menyusuri perkampungan dan gang kumuh kota ini untuk membagi-bagikan
kondom gratis. Hal yang membuat para pekerja seks dan preman di sekitar kawasan
Stasiun Tugu dan Malioboro akrab menyapamu mbak kondom. Sering kali mereka
berani tanpa sungkan menggodamu dengan anekdot jorok sebab tahu kau pasti tak
akan marah.
Pada awalnya mereka memang penuh curiga padamu dan
memperlakukan mu dengan kurang baik. Ada yang menyindir, bahkan sontak
mengungkapkan keberatan atas kedatanganmu. Lebih jauh lagi, sempat kau juga
mengalami pelecehan di kawasan ini. Namun, pada akhirnya mereka luluh juga
dengan semangat pantang menyerahmu. Lagi pula kau memang tulus pada orang
semacam mereka. Rasanya tidak sulit bagi orang-orang di sana menyadari bahwa
sesuatu yang dari hati akan sampai ke hati.
Beberapa pengalaman mereka sering kali kau bagi
padaku saat kita punya kesempatan menghabiskan waktu di pinggiran pantai
berdua. Tentang seorang anak perempuan belasan tahun yang dijual ibunya, atau
bagaiman cara perempuan di sana yang sukses menghabiskan uang tamunya, para
lelaki tua yang sebetulnya sangat pelit pada anak-istrinya. Kita lalu tertawa
bila pada episode lucu, dan meringis pada episode yang tragis.
“Mereka, bagaimanapun adalah guruku. Orang-orang
yang gagah berani hidup sekaligus berani mati. Kau pasti masih ingat Chairil
pernah terpesona pada orang macam mereka,” katamu memukauku di sela suara
gemuruh ombak Parangtritis menjelang gelap.
“Ya benar, penyair pemberontak itu pernah memang
memngungkapkannya, ‘Aku suka pada mereka yang berani hidup!’ itu kan maksudmu?”
ujarku menimpali.
Bila bicaramu sudah seperti ini, maka pasti
kutanggapi dengan serius karena saat seperti inilah kau terlihat begitu indah.
Entah kenapa aku suka saat engkau bicara tentant Tagore sampai tentang seorang
Umbu Landu Paranggi, sastrawan yang menggauli setiap sudut di Malioboro dan
membikin sekelompok pedagang kaki lima, gali, dan tentu saja seniman jalanannya
akrab pada puisi. Katamu, dia memang pantas disebut presiden Maliioboro. Apa
yang ia lakukan mirip karakter Robin Williams dalam film Dead Poet Society,
seorang guru yang membuat murid-muridnya menggilai puisi.
Puisi juga kadang bisa membuatmu bertingkah gila.
Seperti waktu kau ajak beberapa kawan melakukan aksi dadakan di depan sebuah
gedung pertunjukan. Waktu itu almarhum Rendra akan membaca karya-karyanya dalam
Disebabkan oleh Angin. Kau tuding tokoh ini menjual idealismenya dan
berpihak pada golongan kaya karena harga tiket yang melambung, di luar
jangkauan mahasiswa kere macam kita ini. Aku tahu pasti, sebenarnya itu adalah
akal-akalanmu saja yang sedang bokek namun memaksakan diri untuk menonton.
Aku heran kenap masih bisa mengingat begitu banyak
hal konyol dalam dirimu. Mungkin kau memang kawan perempuan paling aneh yang
pernah kutemui. Yang selalu ingin mengemudikan motor bila kita pergi berdua.
Yang mengajariku berpuisi tentant Tuhan, sementara bulir arak terserak di
seputar bibir kita. Mungkin kau membayangkan saat itu serasa bagai seorang
Abunawas, hedonis yang berputar arah menjadi seorang sufi lalu membuat syair
menggetarkan dalam Al I’tiraf. Atau seperti Sutardji Calzoum Bahri
yang bersyair tentang Tuhan dengan mulut penuh busa bir.
“Aku mungkin brengsek, namun bukan seorang ateis,”
ujarmu sambil melempar botol dari tanganmu ke tengah laut.
Sekarang, setelah belasan tahun berlalu. Kekuasaan
negeri ini pun sudah beberapa kali berganti. Kurasa segala kebadungan,
kebrengsekan, dan kenekatanmu pasti sudah banyak berkurang. Berubah seperti
juga banyak kawan seperjuangan kita dulu pun berubah. Sebagian ada di partai,
sebagian memakan mentah-mentah apa yang dulu mereka maki-maki, dan sisanya tak
punya cukup alasan lagi untuk tetap berjuang.
Tapi, kuyakin kau dalam hal ini masih tetap seorang
pemberontak. Seperti kuduga sebelumnya, sikapmu memilih tinggal di luar Jawa
sebenarnya bukan sekedar mencari suasana baru. Mesti banyak hal kau lakukan di
sana.
“Setelah dari Cina, selama bertahun-tahun aku hidup
seperti hippies. Berkeliling ke beberapa negara di Eropa sana. Bergabung
dengan Amnesti Internasional, ikut program Greenpeace. Berteriak sebebasnya,
melakukan semua yang kuingin, sampai kemudian aku rindu pulang dan menyadari
bahwa tempatku memanglah bukan di sana. Alangkah bodohnya aku jika meninggalkan
negeri yang sering membuat iri bangsa-bangsa lain ini,” dengan datar kau
bercerita.
Agak lama kita kemudian terdiam tanpa kata-kata.
Masing-masing terdiam dalam benaknya sendiri. “Lalu sebenarnya apa yang kau
lakukan di sini?” tanyaku agak kaku. Sebenarnta kalimat itu terdengar terlalu
kaku untuk kedekatan kita, terutama setelah lama tidak bertemu.
“Aku ada acara di Jakarta. Kawan-kawan Walhi
mengundangku menjadi pembicara mengenai eksploitasi alam di Borneo. Kupikir,
sepertinya ada sesuatu yang belum selesai denganmu, setelah tahu kau ada di
Bandung, kusempatkan mampir menemuimu sebelum terus ke Jakarta,” perlahan
sekali kau bertutur.
Kita terdiam lagi beberapa waktu. Belum sempat
kukatakan sesuatu, kau menyambung lagi kalimatmu.
“Seperti yang kubilang, aku memang bukanlah orang
taat. Hanya saja pernah seorang kyai berkata padaku bahwa satu hikmah yang
terdapat dalam beberapa ritual keagamaan kita adalah silaturahmi. Orang yang
berkali-kali pergi haji, dan selalu bersujud srta membaca kitab suci, belum
tentu baik di mata-Nya bila hubungan dengan sesamanya buruk. Itulah yang
membawaku kemari. Jadi, maukan kau memaafkanku?”
Ya ampun. Alangkah hebatnya perempuan ini. Untuk
kesekian kalinya ia mengajariku tentang memaafkan dan kelapangan hati. Tanpa
mengindahkan beberapa pasangan yang juga sedang berdua di pantai itu, kugenggam
tangannya dan berbisik dekat sekali di telinganya, seharusnya aku yang pertama
memaafkanmu, bukan menunggumu untuk mengatakannya.
Cianjur, 5 April 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar