Sabtu, 27 April 2013

MEMBANDINGKAN CERITA SANGKURIANG DENGAN OEDIPUS


MEMBANDINGKAN CERITA SANGKURIANG DENGAN OEDIPUS

Tugas Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Nilai Mata Kuliah
Telaah Novel
Dosen : Nori Anggraeni S.S, M.Hum
http://pmb.unpam.ac.id/images/logo_unpam.jpg






Disusun Oleh Kelompok 1:
Ika Susuilarini
Mala Nopita Sari
Maria Ulfa
Neneng Khoerunisa
Nur Kholis Majid

FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS PAMULANG
2013

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum.Wr.Wb
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya makalah Telaah Novel ini berjudul “Perbandingan Cerita Sangkuriang dengan Oedipus”.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala urusan kita, Amin.


                    


Pamulang, April 2013


Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Sastra Bandingan dalam kajian umum serta dalam kaitannya dengan sejarah ataupun yang lainnya adalah bagian dari sastra. Bagaimana menghubungkan sastra yang satu dengan yang lain, dan bagaimana pengaruh keduanya, serta apa yang dapat diambil dari sastra ini dan apa yang diberikannya. Atas dasar inilah kajian dalam sastra bandingan bersifat berpindah dari satu sastra ke sastra yang lain. Terkadang perpindahan ini dari segi lafadz-lafadz bahasa atau dalam tema serta dalam gambaran yang di perlihatkan sastrawan dalam temanya, atau berupa karya-karya seni.
Dan batasan-batasan yang memisahnya antara sastra dengan yang lain pada kajian perbandingan terletak pada bahasa-bahasa. Maka perbedaan antara bahasa adalah syarat untuk membangun kajian sastra banding. Pengaruh-pengaruh sastra yang ditulis dengan satu sama lain dan perbandingan yang terjadi antara sastrawan satu dengan yang lain mengenai bahasa yang satu tidak pula masuk bahasan sastra banding.
Dalam sastra bandingan kajian sastra dapat dilakukan dengan mengambil hanya dua karya sastra, misalnya dua sajak, dari sastra nasional yang berbeda. Selain itu sastra bandingan mencakup pula kajian tentang hubungan karya-karya sastra dengan berbagai bidang d luar kesusasteraan, misalnya dengan ilmu pengetahuan, agama, dan karya-karya seni.
Dalam khazanah kesusastraan bangsa-bangsa di dunia ditemukan begitu banyak karya dalam berbagai genre yang menunjukkan kesamaan-kesamaan. Kadang-kadang, kesamaan itu amat mengagetkan karena ternyata bukan saja menyangkut unsur-unsur tertentu di dalam teks, melainkan juga wujud teks secara keseluruhan. Seperti halnya kisah Oedipus (Yunani) dan Sangkuriang-Dayang Sumbi (Sunda), pada novel Madame Bovary karya Gustave Flaubert (Perancis) dan Belenggu karya Armijn Pane,
Begitu banyak karya sastra yang pernah ditulis mengenai cinta. Sejak pertama kali manusia bisa menuangkan pikiran-pikiran dan perasaannya ke dalam lembaran-lembaran kertas, para pujangga di seluruh penjuru dunia telah mengukir syair-syair pujian mengenai kebahagiaan dan kesedihan akibat cinta. Di antara karya-karya tersebut, tentunya yang paling populer di seluruh dunia ialah drama Romeo dan Juliet karya William Shakespeare. Sekalipun dianggap paling populer di dunia, Romeo dan Juliet bukanlah satu-satunya kisah cinta yang dramatis; dalam kesusastraan Arab-Persia pun terdapat kisah serupa: Laila Majnun, syair gubahan Syaikh Nizami Ganjavi yang didasarkan pada legenda masyarakat Badui di jazirah Arab. Tidak terkecuali, di Pulau Jawa pun ada kisah tentang Sangkuriang.


B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah sinopsis cerita Sangkuriang dengan Oedipus ?
2.    Dimanakah letak perbandingan kedua cerita tersebut ?
3.    Dimanakah letak persamaan kedua cerita tersebut ?








BAB II
PEMBAHASAN

1.    Sinopsis cerita Sangkuriang dan Oudipus
a)   Cerita Oudipus
Pada Zaman dahulu, di Jawa Barat hiduplah seorang putri raja yang bernama Dayang Sumbi. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu di dalam hutan. Setiap berburu, dia selalu ditemani oleh seekor anjing kesayangannya yang bernama Tumang. Tumang sebenarnya adalah titisan dewa, dan juga bapak kandung Sangkuriang, tetapi Sangkuriang tidak tahu hal itu dan ibunya memang sengaja merahasiakannya.
Pada suatu hari, seperti biasanya Sangkuriang pergi ke hutan untuk berburu. Setelah sesampainya di hutan, Sangkuriang mulai mencari buruan. Dia melihat ada seekor burung yang sedang bertengger di dahan, lalu tanpa berpikir panjang Sangkuriang langsung menembaknya, dan tepat mengenai sasaran. Sangkuriang lalu memerintah Tumang untuk mengejar buruannya tadi, tetapi si Tumang diam saja dan tidak mau mengikuti perintah Sangkuriang. Karena sangat jengkel pada Tumang, maka Sangkuriang lalu mengusir Tumang dan tidak diijinkan pulang ke rumah bersamanya lagi.
Sesampainya di rumah, Sangkuriang menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya. Begitu mendengar cerita dari anaknya, Dayang Sumbi sangat marah. Diambilnya sendok nasi, dan dipukulkan ke kepala Sangkuriang. Karena merasa kecewa dengan perlakuan ibunya, maka Sangkuriang memutuskan untuk pergi mengembara, dan meninggalkan rumahnya.  
Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali perbuatannya. Ia berdoa setiap hari, dan meminta agar suatu hari dapat bertemu dengan anaknya kembali. Karena kesungguhan dari doa Dayang Sumbi tersebut, maka Dewa memberinya sebuah hadiah berupa kecantikan abadi dan usia muda selamanya.
Setelah bertahun-tahun lamanya Sangkuriang mengembara, akhirnya ia berniat untuk pulang ke kampung halamannya. Sesampainya di sana, dia sangat terkejut sekali, karena kampung halamannya sudah berubah total. Rasa senang Sangkuriang tersebut bertambah ketika saat di tengah jalan bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik jelita, yang tidak lain adalah Dayang Sumbi. Karena terpesona dengan kecantikan wanita tersebut, maka Sangkuriang langsung melamarnya. Akhirnya lamaran Sangkuriang diterima oleh Dayang Sumbi, dan sepakat akan menikah di waktu dekat.
Pada suatu hari, Sangkuriang meminta ijin calon istrinya untuk berburu di hutan. Sebelum berangkat, ia meminta Dayang Sumbi untuk mengencangkan dan merapikan ikat kapalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi, karena pada saat dia merapikan ikat kepala Sangkuriang, Ia melihat ada bekas luka. Bekas luka tersebut mirip dengan bekas luka anaknya. Setelah bertanya kepada Sangkuriang tentang penyebab lukanya itu, Dayang Sumbi bertambah tekejut, karena ternyata benar bahwa calon suaminya tersebut adalah anaknya sendiri.
Dayang Sumbi sangat bingung sekali, karena dia tidak mungkin menikah dengan anaknya sendiri. Setelah Sangkuriang pulang berburu, Dayang Sumbi mencoba berbicara kepada Sangkuriang, supaya Sangkuriang membatalkan rencana pernikahan mereka. Permintaan Dayang Sumbi tersebut tidak disetujui Sangkuriang, dan hanya dianggap angin lalu saja.
Setiap hari Dayang Sumbi berpikir bagaimana cara agar pernikahan mereka tidak pernah terjadi. Setelah berpikir keras, akhirnya Dayang Sumbi menemukan cara terbaik. Dia mengajukan dua buah syarat kepada Sangkuriang. Apabila Sangkuriang dapat memenuhi kedua syarat tersebut, maka Dayang Sumbi mau dijadikan istri, tetapi sebaliknya jika gagal maka pernikahan itu akan dibatalkan. Syarat yang pertama Dayang Sumbi ingin supaya sungai Citarum dibendung. Dan yang kedua adalah, meminta Sangkuriang untuk membuat sampan yang sangat besar untuk menyeberang sungai. Kedua syarat itu harus diselesai sebelum fajar menyingsing.
Sangkuriang menyanggupi kedua permintaan Dayang Sumbi tersebut, dan berjanji akan menyelesaikannya sebelum fajar menyingsing. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Sangkuriang lalu mengerahkan teman-temannya dari bangsa jin untuk membantu menyelesaikan tugasnya tersebut. Diam-diam, Dayang Sumbi mengintip hasil kerja dari Sangkuriang. Betapa terkejutnya dia, karena Sangkuriang hampir menyelesaiklan semua syarat yang diberikan Dayang Sumbi sebelum fajar.
Dayang Sumbi lalu meminta bantuan masyarakat sekitar untuk menggelar kain sutera berwarna merah di sebelah timur kota. Ketika melihat warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira kalau hari sudah menjelang pagi. Sangkuriang langsung menghentikan pekerjaannya dan merasa tidak dapat memenuhi syarat yang telah diajukan oleh Dayang Sumbi.
Dengan rasa jengkel dan kecewa, Sangkuriang lalu menjebol bendungan yang telah dibuatnya sendiri. Karena jebolnya bendungan itu, maka terjadilah banjir dan seluruh kota terendam air. Sangkuriang juga menendang sampan besar yang telah dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh tertelungkup, lalu menjadi sebuah gunung yang bernama Tangkuban Perahu.

b)   Cerita Oedipus
Oedipus adalah anak dari raja Laius dan ratu Jocasta. Sebelum dia lahir, kedua orang tuanya menemui Orakel di Delphi. Sang Orakel meramalkan bahwa raja Laius akan dibunuh oleh anaknya sendiri. Untuk mencegah agar ramalan ini tidak menjadi kenyataan, Laius memerintahkan untuk mengikat kaki Oedipus dan memakunya – dari sini termaknailah Oedipus sebagai “kaki bengkak”. Oedipus kemudian dibuang dari Thebes, akan tetapi seorang penggembala menemukannya dan membawanya ke Corinth untuk dipelihara oleh raja Polybus. Bertahun kemudian, seorang pemabuk memberitahunya bahwa Polybus, bukanlah ayah kandung Oedipus. Demi mencari kebenaran cerita itu, dia pergi menemui Orakel dan diberi tahu bahwa dia memang ditakdirkan untuk membunuh ayahnya dan mengawini ibunya. Dalam usahanya untuk menghindari takdir, dia pergi dari Corinth ke Thebes.
Dalam perjalanannya ke Thebes, dia tiba di persimpangan tiga jalan dimana dia bertemu dengan kereta kuda yang dikendarai oleh raja Laius. Laius memerintahkan Oedipus minggir dari jalan agar keretanya dapat lewat, tetapi Oedipus tidak mau menurutinya. Oedipus tidak mengenal Laius saat itu, akan tetapi keduanya terlibat dalam pertikaian dan berakhir dengan Oedipus membunuh Laius dalam perkelahian. Seperti ramalan sang Orakel, Oedipus membunuh ayahnya. Saat ia meneruskan perjalanannya ke Thebes, dia berjumpa dengan Sphinx. Sphinx menghentikan semua orang yang lewat jalan itu sambil memberinya sebuah teka teki. Jika para pengembara tersebut tidak dapat menjawab dengan benar, maka Sphinx akan memakan mereka, jika mereka berhasil, mereka dapat melanjutkan perjalanannya.Teka-tekinya adalah “ Apa yang berjalan dengan empat kaki di pagi, dua kaki di siang dan tiga kaki di sore hari ?”. Oedipus menjawab : “Manusia; saat kecil, manusia berjalan dengan empat kaki dan tangannya, saat dewasa berjalan dengan dua kakinya dan saat tua berjalan dengan tongkatnya”. Setelah mendengar jawaban Oedipus yang benar, si Sphinx bunuh diri. Karena berhasil membunuh Sphinx, Oedipus diangkat menjadi raja Thebes dan juga dinikahkan dengan janda raja Laius, Jacosta. Mereka mempunyai empat anak: dua laki-laki, Polynices dan Eteocles dan dua perempuan, Antigone dan Ismene.
Bertahun-tahun setelah perkawinan Oedipus dan Jacosta, sebuah wabah menyerang kota Thebes. Dalam arogansinya, Oedipus mengatakan akan mengakhiri bencana itu. Dia mengutus Creon, saudara Jocasta, untuk menemui Orakel di Delphi, guna mencari petunjuk. Saat Creon kembali, dia mengatakan bahwa pembunuh raja Laius harus ditemukan, pembunuh itu harus dibunuh atau diasingkan agar bencana tersebut lenyap dari Thebes. Untuk mencari pembunuh itu, Oedipus bertanya pada Tiresias, seorang peramal buta, tapi Tiresias mengingatkannya agar usahanya untuk mencari pembunuh Laius tidak diteruskan. Karena terjadi pertikaian antara keduanya, maka akhirnya Tiresias mengungkap bahwa pembunuh sebenarnya raja Laius adalah Oedipus. Pada saat yang sama, seorang pesuruh datang dari Corinth, dan mengabarkan bahwa Raja Polybus ,yang Oedipus anggap masih sebagai ayahnya, telah wafat. Utusan itu juga mengungkap bahwa Oedipus sebenarnya adalah anak angkat dari Polybus. Jocasta akhirnya menyadari identitas sebenarnya dari Oedipus, dia kemudian lari ke istana dan menggantung diri. Saat mendapati Jocasta telah tewas, Oedipus kemudian membutakan dirinya, dan pergi dari Thebes ditemani anaknya Antigone. Akhirnya dia meninggal di Colonus setelah mendapatkan perlindungan dari raja Theseus.
Kedua anak lelaki Oedisius, Eteocles dan Polynices berbagi kerajaan. Mereka memerintah bergantian setiap tahun. Akan tetapi saat tiba giliran Eteocles memerintah kerajaan, Polynices menolak menyerahkan tahtanya. Terjadilah peperangan yang diakhiri dengan kedua saudara tersebut saling bunuh. Creon, saudara Jocasta menggantikan mereka menjadi raja, dia memutuskan bahwa Polynices adalah seorang pengkhianat dan tidak diperbolehkan untuk dikuburkan. Antigone yang tidak menerima keputusan ini, berusaha menguburkan Polynices, tetapi Creon akhirnya membunuhnya juga.

2.    Perbandingan Cerita Sangkuriang dengan Oudipus
Cerita Sangkuriang ditulis berdasarkan cerita rakyat yang telah berabad-abad dikenal oleh masyarakat Jawa. Pada kebanyakan masyarakat Jawa sudah menjadi sebuah “keniscayaan” bahwa kisah hidup Sangkuriang, yang diyakini pernah ada dan hidup pada masa kekuasaan Sultan Agung di Mataram (abad ke-17).
Sangkuriang
Oudipus
Ø Dalam cerita Sangkuriang itu menggunakan kultur sunda yang kental dengan istilah anak durhaka “Surga dibawah telapak kaki Ibu”.
Ø Dalam cerita Oudipus itu tidak mengenal istilah anak durhaka tetapi lebih mengenal kutukan dari para dewa.
Ø Sangkuriang tidak sempat menikah dengan ibunya.
Ø Oudipus menikah dengan ibunya dan memiliki dua orang putra dan dua orang putri.
Ø Menggunakan bahasa Indonesia.  Wilayah atau ruang lingkup yang menjadi latar cerita “Sangkuriang” adalah daerah Sunda, Jawa Barat
Ø Menggunakan bahasa Yunani.  Pada cerita “Oedipus” wilayahnya adalah di daerah Yunani.
Ø “Sangkuriang” dipengaruhi oleh kondisi politik di daerah Sunda yang pada waktu itu masih berupa kerajaan.
Ø Sedangkan pada “Oedipus” dipengaruhi oleh kondisi politik  di Yunani yang pada saat itu juga berupa kerajaan Yunani.
Ø Legenda timur “Sangkuriang” merupakan asal mula  terjadinya Telaga Bandung dan Gunung Tangkuban Perahu.
Ø Legenda barat  “Oedipus” merupakan asal mula runtuhnya suatu kerajaan Sparta dan Thebes dan berdirinya kerajaan yang baru.
Ø Sangkuriang memiliki ayah seekor Anjing.
Ø Oudipus memiliki ayah normal layaknya seorang manusia.
Ø Sangkuriang ketika lahir tidak perlu adanya ramalan dari para dewa.
Ø Sedangkan Oudipus sejak lahir harus memiliki ramalan buruk dan menyebabkan dia harus dibuang ke hutan.
Ø Dayang Sumbi (Ibunda Sangkuriang) mengetahui bahwa yang lelaki yang menaruh hati padanya adalah anaknya sendiri Sangkuriang
Ø Sedangkan Jokaste (Ibunda Oudipus) tidak mengetahui bahwa lelaki yang menjadi suaminya adalah anaknya sendiri.
Ø Cerita tentang Sangkuriang mungkin hanya dikenal dalam wilayah geografis.
Ø Cerita Oudipus sudah mendunia dan telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa.
Ø Sangkuriang” terdapat unsur kepercayaan bahwa hewan dapat melahirkan manusia, manusia dapat membendung sungai, serta seorang wanita mampu menerbitkan fajar.
Ø Sedangkan pada legende  “Oedipus” terdapat kepercayaan seorang manusia mampu menaklukkan kemaharajaan Yunani dan membangun Negara baru.
Ø Sangkuriang sempat diasuh oleh ibunya ketika masih kecil
Ø Sedangkan Oedipus ketika baru dilahirkan langsung dibuang kehutan.





3.    Persamaan cerita Sangkuriang dan Oudipus
Sangkuriang
Oudipus
Ø Sangkuriang mencintai Ibu kandungnya sendiri.
Ø Oudipus pun mencintai Ibu kandungnya.
Ø Sangkuriang membunuh Ayahnya yang merupakan seekor Anjing.
Ø Oudipus juga membunuh Ayahnya tetapi dalam keadaan mereka sudah sama-sama tidak mengenal antara satu sama lain.
Ø  Sangkuriang tidak mengenali ibunya ketika bertemu kembali.
Ø  Oediipus pun juga tidak mengenali ibunya.
Ø   
Ø   
Ø   
Ø   
Ø   
Ø   
Ø   
Ø   
Ø   
Ø   
Ø   
Ø   
Ø   
Ø   
Ø   
Ø   

Persamaan kedua cerita tersebut disebabkan oleh polygenesis, yaitu cerita dengan tipe dan motif  yang lahir di tempat yang banyak dalam waktu yang berbeda tanpa ada hubungan dan pengaruh sama sekali. “Oedipus” merupakan legende pada masyarakat Yunani yang ceritanya sangat terkenal di dunia dan telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa. Selain itu, cerita “Oedipus” mencerminkan gejolak sosial masyarakat yang ada di Yunani pada masa tersebut, serta mampu mengilhami para pengarang untuk menciptakan karya sastra baru. Selain itu juga “Oedipus” merupakan karya sastra klasik. Atas dasar tersebut “Oedipus” disebut sebagai sastra dunia.


























BAB III
PENUTUP

1.    Simpulan
Dari telaah-telaah bandingan yang berhasil dilakukan antara kedua cerita tersebut, paling tidak muncul tiga teori yang bersangkut paut dengan gejala tersebut. Teori pertama mengatakan bahwa kesamaan dimungkinkan oleh adanya proses migrasi, teori kedua oleh adanya pengaruh-memengaruhi, dan teori ketiga tidak bersinggungan dengan yang pertama dan kedua, tetapi karena sifat “kebetulan” semata. Untuk teori yang ketiga, dijelaskan bahwa manusia, di mana pun ia berada, pada hakikatnya senantiasa menghadapi persoalan kemanusiaan yang sama dalam hidupnya-pencarian Tuhan, makna cinta, keadilan, kematian, dan sebagainya. Jadi, ketika merasa perlu untuk “mengabadikan” persoalan yang dianggap genting itu, boleh jadi ia akan mengekspresikannya dalam wujud yang lebih kurang sama.















DAFTAR PUSTAKA


Sapardi Djoko Damono. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

http://matadayeuh.wordpress.com, diakses 10 Mei 2009.
http://pendekarjawa.wordpress.com, diakses 10 Mei 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar