MEMBANDINGKAN
CERITA SANGKURIANG DENGAN OEDIPUS
Tugas
Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Nilai Mata Kuliah
Telaah Novel
Dosen : Nori Anggraeni S.S, M.Hum
Telaah Novel
Dosen : Nori Anggraeni S.S, M.Hum
Disusun
Oleh Kelompok 1:
Ika
Susuilarini
Mala Nopita Sari
Maria Ulfa
Neneng Khoerunisa
Nur Kholis Majid
Mala Nopita Sari
Maria Ulfa
Neneng Khoerunisa
Nur Kholis Majid
FAKULTAS
SASTRA
JURUSAN
SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS
PAMULANG
2013
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum.Wr.Wb
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita rahmat
serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini
yang alhamdulillah tepat pada waktunya makalah Telaah Novel ini berjudul “Perbandingan
Cerita Sangkuriang dengan Oedipus”.
Kami
menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir
kata, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala urusan kita, Amin.
Pamulang,
April 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sastra
Bandingan dalam kajian umum serta dalam kaitannya dengan sejarah ataupun yang
lainnya adalah bagian dari sastra. Bagaimana menghubungkan sastra yang satu
dengan yang lain, dan bagaimana pengaruh keduanya, serta apa yang dapat diambil
dari sastra ini dan apa yang diberikannya. Atas dasar inilah kajian dalam
sastra bandingan bersifat berpindah dari satu sastra ke sastra yang lain.
Terkadang perpindahan ini dari segi lafadz-lafadz bahasa atau dalam tema serta
dalam gambaran yang di perlihatkan sastrawan dalam temanya, atau berupa
karya-karya seni.
Dan
batasan-batasan yang memisahnya antara sastra dengan yang lain pada kajian
perbandingan terletak pada bahasa-bahasa. Maka perbedaan antara bahasa adalah
syarat untuk membangun kajian sastra banding. Pengaruh-pengaruh sastra yang
ditulis dengan satu sama lain dan perbandingan yang terjadi antara sastrawan
satu dengan yang lain mengenai bahasa yang satu tidak pula masuk bahasan sastra
banding.
Dalam
sastra bandingan kajian sastra dapat dilakukan dengan mengambil hanya dua karya
sastra, misalnya dua sajak, dari sastra nasional yang berbeda. Selain itu
sastra bandingan mencakup pula kajian tentang hubungan karya-karya sastra
dengan berbagai bidang d luar kesusasteraan, misalnya dengan ilmu pengetahuan,
agama, dan karya-karya seni.
Dalam khazanah kesusastraan bangsa-bangsa di dunia
ditemukan begitu banyak karya dalam berbagai genre yang menunjukkan
kesamaan-kesamaan. Kadang-kadang, kesamaan itu amat mengagetkan karena ternyata
bukan saja menyangkut unsur-unsur tertentu di dalam teks, melainkan juga wujud
teks secara keseluruhan. Seperti halnya kisah Oedipus (Yunani) dan
Sangkuriang-Dayang Sumbi (Sunda), pada novel Madame Bovary karya Gustave
Flaubert (Perancis) dan Belenggu karya Armijn Pane,
Begitu banyak karya sastra yang pernah ditulis mengenai
cinta. Sejak pertama kali manusia bisa menuangkan pikiran-pikiran dan
perasaannya ke dalam lembaran-lembaran kertas, para pujangga di seluruh penjuru
dunia telah mengukir syair-syair pujian mengenai kebahagiaan dan kesedihan
akibat cinta. Di antara karya-karya tersebut, tentunya yang paling populer di
seluruh dunia ialah drama Romeo dan Juliet karya William Shakespeare.
Sekalipun dianggap paling populer di dunia, Romeo dan Juliet bukanlah
satu-satunya kisah cinta yang dramatis; dalam kesusastraan Arab-Persia pun
terdapat kisah serupa: Laila Majnun, syair gubahan Syaikh Nizami Ganjavi
yang didasarkan pada legenda masyarakat Badui di jazirah Arab. Tidak
terkecuali, di Pulau Jawa pun ada kisah tentang Sangkuriang.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
sinopsis cerita Sangkuriang dengan Oedipus ?
2. Dimanakah
letak perbandingan kedua cerita tersebut ?
3. Dimanakah
letak persamaan kedua cerita tersebut ?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sinopsis cerita Sangkuriang dan Oudipus
a) Cerita Oudipus
Pada Zaman dahulu, di Jawa Barat hiduplah
seorang putri raja yang bernama Dayang Sumbi. Ia mempunyai seorang anak
laki-laki yang bernama Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu di dalam
hutan. Setiap berburu, dia selalu ditemani oleh seekor anjing kesayangannya
yang bernama Tumang. Tumang sebenarnya adalah titisan dewa, dan juga bapak
kandung Sangkuriang, tetapi Sangkuriang tidak tahu hal itu dan ibunya memang
sengaja merahasiakannya.
Pada suatu hari, seperti biasanya Sangkuriang
pergi ke hutan untuk berburu. Setelah sesampainya di hutan, Sangkuriang mulai
mencari buruan. Dia melihat ada seekor burung yang sedang bertengger di dahan,
lalu tanpa berpikir panjang Sangkuriang langsung menembaknya, dan tepat
mengenai sasaran. Sangkuriang lalu memerintah Tumang untuk mengejar buruannya
tadi, tetapi si Tumang diam saja dan tidak mau mengikuti perintah Sangkuriang.
Karena sangat jengkel pada Tumang, maka Sangkuriang lalu mengusir Tumang dan
tidak diijinkan pulang ke rumah bersamanya lagi.
Sesampainya di rumah, Sangkuriang menceritakan
kejadian tersebut kepada ibunya. Begitu mendengar cerita dari anaknya, Dayang
Sumbi sangat marah. Diambilnya sendok nasi, dan dipukulkan ke kepala
Sangkuriang. Karena merasa kecewa dengan perlakuan ibunya, maka Sangkuriang
memutuskan untuk pergi mengembara, dan meninggalkan rumahnya.
Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat
menyesali perbuatannya. Ia berdoa setiap hari, dan meminta agar suatu hari
dapat bertemu dengan anaknya kembali. Karena kesungguhan dari doa Dayang Sumbi
tersebut, maka Dewa memberinya sebuah hadiah berupa kecantikan abadi dan usia
muda selamanya.
Setelah bertahun-tahun lamanya Sangkuriang
mengembara, akhirnya ia berniat untuk pulang ke kampung halamannya. Sesampainya
di sana, dia sangat terkejut sekali, karena kampung halamannya sudah berubah
total. Rasa senang Sangkuriang tersebut bertambah ketika saat di tengah jalan
bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik jelita, yang tidak lain adalah
Dayang Sumbi. Karena terpesona dengan kecantikan wanita tersebut, maka
Sangkuriang langsung melamarnya. Akhirnya lamaran Sangkuriang diterima oleh
Dayang Sumbi, dan sepakat akan menikah di waktu dekat.
Pada suatu hari, Sangkuriang meminta ijin calon
istrinya untuk berburu di hutan. Sebelum berangkat, ia meminta Dayang Sumbi
untuk mengencangkan dan merapikan ikat kapalanya. Alangkah terkejutnya Dayang
Sumbi, karena pada saat dia merapikan ikat kepala Sangkuriang, Ia melihat ada
bekas luka. Bekas luka tersebut mirip dengan bekas luka anaknya. Setelah
bertanya kepada Sangkuriang tentang penyebab lukanya itu, Dayang Sumbi
bertambah tekejut, karena ternyata benar bahwa calon suaminya tersebut adalah
anaknya sendiri.
Dayang Sumbi sangat bingung sekali, karena dia
tidak mungkin menikah dengan anaknya sendiri. Setelah Sangkuriang pulang
berburu, Dayang Sumbi mencoba berbicara kepada Sangkuriang, supaya Sangkuriang
membatalkan rencana pernikahan mereka. Permintaan Dayang Sumbi tersebut tidak
disetujui Sangkuriang, dan hanya dianggap angin lalu saja.
Setiap hari Dayang Sumbi berpikir bagaimana cara
agar pernikahan mereka tidak pernah terjadi. Setelah berpikir keras, akhirnya
Dayang Sumbi menemukan cara terbaik. Dia mengajukan dua buah syarat kepada
Sangkuriang. Apabila Sangkuriang dapat memenuhi kedua syarat tersebut, maka
Dayang Sumbi mau dijadikan istri, tetapi sebaliknya jika gagal maka pernikahan
itu akan dibatalkan. Syarat yang pertama Dayang Sumbi ingin supaya sungai
Citarum dibendung. Dan yang kedua adalah, meminta Sangkuriang untuk membuat
sampan yang sangat besar untuk menyeberang sungai. Kedua syarat itu harus
diselesai sebelum fajar menyingsing.
Sangkuriang menyanggupi kedua permintaan Dayang
Sumbi tersebut, dan berjanji akan menyelesaikannya sebelum fajar menyingsing.
Dengan kesaktian yang dimilikinya, Sangkuriang lalu mengerahkan teman-temannya
dari bangsa jin untuk membantu menyelesaikan tugasnya tersebut. Diam-diam,
Dayang Sumbi mengintip hasil kerja dari Sangkuriang. Betapa terkejutnya dia,
karena Sangkuriang hampir menyelesaiklan semua syarat yang diberikan Dayang
Sumbi sebelum fajar.
Dayang Sumbi lalu meminta bantuan masyarakat
sekitar untuk menggelar kain sutera berwarna merah di sebelah timur kota.
Ketika melihat warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira kalau hari
sudah menjelang pagi. Sangkuriang langsung menghentikan pekerjaannya dan merasa
tidak dapat memenuhi syarat yang telah diajukan oleh Dayang Sumbi.
Dengan rasa jengkel dan kecewa, Sangkuriang lalu
menjebol bendungan yang telah dibuatnya sendiri. Karena jebolnya bendungan itu,
maka terjadilah banjir dan seluruh kota terendam air. Sangkuriang juga
menendang sampan besar yang telah dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh
tertelungkup, lalu menjadi sebuah gunung yang bernama Tangkuban Perahu.
b)
Cerita Oedipus
Oedipus adalah anak dari raja Laius dan ratu Jocasta. Sebelum dia lahir, kedua orang tuanya menemui Orakel di Delphi. Sang Orakel meramalkan bahwa raja Laius akan dibunuh oleh
anaknya sendiri. Untuk mencegah agar ramalan ini tidak menjadi kenyataan, Laius
memerintahkan untuk mengikat kaki Oedipus dan memakunya – dari sini
termaknailah Oedipus sebagai “kaki bengkak”. Oedipus kemudian dibuang dari
Thebes, akan tetapi seorang penggembala menemukannya dan membawanya ke Corinth untuk dipelihara oleh
raja Polybus. Bertahun kemudian, seorang pemabuk
memberitahunya bahwa Polybus, bukanlah ayah kandung Oedipus. Demi mencari
kebenaran cerita itu, dia pergi menemui Orakel dan diberi tahu bahwa dia memang
ditakdirkan untuk membunuh ayahnya dan mengawini ibunya. Dalam usahanya untuk
menghindari takdir, dia pergi dari Corinth ke Thebes.
Dalam perjalanannya ke Thebes, dia tiba di persimpangan
tiga jalan dimana dia bertemu dengan kereta kuda yang dikendarai oleh raja
Laius. Laius memerintahkan Oedipus minggir dari jalan agar keretanya dapat
lewat, tetapi Oedipus tidak mau menurutinya. Oedipus tidak mengenal Laius saat
itu, akan tetapi keduanya terlibat dalam pertikaian dan berakhir dengan Oedipus
membunuh Laius dalam perkelahian. Seperti ramalan sang Orakel, Oedipus membunuh
ayahnya. Saat ia meneruskan perjalanannya ke Thebes, dia berjumpa dengan Sphinx. Sphinx menghentikan
semua orang yang lewat jalan itu sambil memberinya sebuah teka teki. Jika para
pengembara tersebut tidak dapat menjawab dengan benar, maka Sphinx akan memakan
mereka, jika mereka berhasil, mereka dapat melanjutkan perjalanannya.Teka-tekinya
adalah “ Apa yang berjalan dengan empat kaki di pagi, dua kaki di siang dan
tiga kaki di sore hari ?”. Oedipus menjawab : “Manusia; saat kecil,
manusia berjalan dengan empat kaki dan tangannya, saat dewasa berjalan dengan dua
kakinya dan saat tua berjalan dengan tongkatnya”. Setelah mendengar jawaban
Oedipus yang benar, si Sphinx bunuh diri. Karena berhasil membunuh Sphinx,
Oedipus diangkat menjadi raja Thebes dan juga dinikahkan dengan janda raja
Laius, Jacosta. Mereka mempunyai empat anak: dua laki-laki, Polynices dan Eteocles dan dua perempuan, Antigone dan Ismene.
Bertahun-tahun setelah perkawinan Oedipus dan
Jacosta, sebuah wabah menyerang kota Thebes. Dalam arogansinya, Oedipus
mengatakan akan mengakhiri bencana itu. Dia mengutus Creon, saudara Jocasta, untuk menemui Orakel di Delphi, guna mencari
petunjuk. Saat Creon kembali, dia mengatakan bahwa pembunuh raja Laius harus
ditemukan, pembunuh itu harus dibunuh atau diasingkan agar bencana tersebut
lenyap dari Thebes. Untuk mencari pembunuh itu, Oedipus bertanya pada Tiresias, seorang peramal buta, tapi Tiresias
mengingatkannya agar usahanya untuk mencari pembunuh Laius tidak diteruskan.
Karena terjadi pertikaian antara keduanya, maka akhirnya Tiresias mengungkap
bahwa pembunuh sebenarnya raja Laius adalah Oedipus. Pada saat yang sama,
seorang pesuruh datang dari Corinth, dan mengabarkan bahwa Raja Polybus ,yang
Oedipus anggap masih sebagai ayahnya, telah wafat. Utusan itu juga mengungkap
bahwa Oedipus sebenarnya adalah anak angkat dari Polybus. Jocasta akhirnya
menyadari identitas sebenarnya dari Oedipus, dia kemudian lari ke istana dan
menggantung diri. Saat mendapati Jocasta telah tewas, Oedipus kemudian
membutakan dirinya, dan pergi dari Thebes ditemani anaknya Antigone. Akhirnya
dia meninggal di Colonus setelah mendapatkan perlindungan dari raja
Theseus.
Kedua anak lelaki Oedisius, Eteocles dan
Polynices berbagi kerajaan. Mereka memerintah bergantian setiap tahun. Akan
tetapi saat tiba giliran Eteocles memerintah kerajaan, Polynices menolak
menyerahkan tahtanya. Terjadilah peperangan yang diakhiri dengan kedua saudara
tersebut saling bunuh. Creon, saudara Jocasta menggantikan mereka menjadi raja,
dia memutuskan bahwa Polynices adalah seorang pengkhianat dan tidak
diperbolehkan untuk dikuburkan. Antigone yang tidak menerima keputusan ini,
berusaha menguburkan Polynices, tetapi Creon akhirnya membunuhnya juga.
2.
Perbandingan Cerita
Sangkuriang dengan Oudipus
Cerita Sangkuriang ditulis berdasarkan cerita rakyat
yang telah berabad-abad dikenal oleh masyarakat Jawa. Pada kebanyakan
masyarakat Jawa sudah menjadi sebuah “keniscayaan” bahwa kisah hidup
Sangkuriang, yang diyakini pernah ada dan hidup pada masa kekuasaan Sultan
Agung di Mataram (abad ke-17).
Sangkuriang
|
Oudipus
|
Ø Dalam cerita
Sangkuriang itu menggunakan kultur sunda yang kental dengan istilah anak
durhaka “Surga dibawah telapak kaki
Ibu”.
|
Ø Dalam cerita Oudipus
itu tidak mengenal istilah anak durhaka tetapi lebih mengenal kutukan dari
para dewa.
|
Ø Sangkuriang tidak
sempat menikah dengan ibunya.
|
Ø Oudipus menikah dengan
ibunya dan memiliki dua orang putra dan dua orang putri.
|
Ø Menggunakan bahasa
Indonesia. Wilayah atau ruang lingkup yang menjadi latar cerita
“Sangkuriang” adalah daerah Sunda, Jawa Barat
|
Ø Menggunakan bahasa
Yunani. Pada cerita “Oedipus” wilayahnya adalah di daerah Yunani.
|
Ø “Sangkuriang” dipengaruhi oleh
kondisi politik di daerah Sunda yang pada waktu itu masih berupa kerajaan.
|
Ø Sedangkan pada “Oedipus”
dipengaruhi oleh kondisi politik di Yunani yang pada saat itu juga
berupa kerajaan Yunani.
|
Ø Legenda timur “Sangkuriang”
merupakan asal mula terjadinya Telaga Bandung dan Gunung Tangkuban Perahu.
|
Ø Legenda barat “Oedipus”
merupakan asal mula runtuhnya suatu kerajaan Sparta dan Thebes dan berdirinya
kerajaan yang baru.
|
Ø Sangkuriang memiliki
ayah seekor Anjing.
|
Ø Oudipus memiliki ayah
normal layaknya seorang manusia.
|
Ø Sangkuriang ketika
lahir tidak perlu adanya ramalan dari para dewa.
|
Ø Sedangkan Oudipus
sejak lahir harus memiliki ramalan buruk dan menyebabkan dia harus dibuang ke
hutan.
|
Ø Dayang Sumbi (Ibunda
Sangkuriang) mengetahui bahwa yang lelaki yang menaruh hati padanya adalah
anaknya sendiri Sangkuriang
|
Ø Sedangkan Jokaste
(Ibunda Oudipus) tidak mengetahui bahwa lelaki yang menjadi suaminya adalah
anaknya sendiri.
|
Ø Cerita tentang Sangkuriang mungkin
hanya dikenal dalam wilayah geografis.
|
Ø Cerita Oudipus sudah
mendunia dan
telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa.
|
Ø “Sangkuriang”
terdapat unsur kepercayaan bahwa hewan dapat melahirkan manusia, manusia
dapat membendung sungai, serta seorang wanita mampu menerbitkan fajar.
|
Ø Sedangkan
pada legende “Oedipus” terdapat kepercayaan seorang manusia mampu
menaklukkan kemaharajaan Yunani dan membangun Negara baru.
|
Ø Sangkuriang sempat
diasuh oleh ibunya ketika masih kecil
|
Ø Sedangkan Oedipus
ketika baru dilahirkan langsung dibuang kehutan.
|
|
|
3.
Persamaan cerita
Sangkuriang dan Oudipus
Sangkuriang
|
Oudipus
|
Ø Sangkuriang mencintai
Ibu kandungnya sendiri.
|
Ø Oudipus pun mencintai
Ibu kandungnya.
|
Ø Sangkuriang membunuh
Ayahnya yang merupakan seekor Anjing.
|
Ø Oudipus juga membunuh
Ayahnya tetapi dalam keadaan mereka sudah sama-sama tidak mengenal antara
satu sama lain.
|
Ø Sangkuriang tidak
mengenali ibunya ketika bertemu kembali.
|
Ø Oediipus pun juga
tidak mengenali ibunya.
|
Ø
|
Ø
|
Ø
|
Ø
|
Ø
|
Ø
|
Ø
|
Ø
|
Ø
|
Ø
|
Ø
|
Ø
|
Ø
|
Ø
|
Ø
|
Ø
|
Persamaan kedua cerita tersebut disebabkan oleh
polygenesis, yaitu cerita dengan tipe dan motif yang lahir
di tempat yang banyak dalam waktu yang berbeda tanpa ada hubungan dan pengaruh
sama sekali. “Oedipus” merupakan legende pada
masyarakat Yunani yang ceritanya sangat terkenal di dunia dan telah
diterjemahkan dalam beberapa bahasa. Selain itu, cerita “Oedipus” mencerminkan
gejolak sosial masyarakat yang ada di Yunani pada masa tersebut, serta mampu
mengilhami para pengarang untuk menciptakan karya sastra baru. Selain itu juga
“Oedipus” merupakan karya sastra klasik. Atas dasar tersebut “Oedipus” disebut
sebagai sastra dunia.
BAB III
PENUTUP
1.
Simpulan
Dari telaah-telaah bandingan yang berhasil dilakukan antara
kedua cerita tersebut, paling tidak muncul tiga teori yang bersangkut paut
dengan gejala tersebut. Teori pertama mengatakan bahwa kesamaan dimungkinkan
oleh adanya proses migrasi, teori kedua oleh adanya pengaruh-memengaruhi, dan
teori ketiga tidak bersinggungan dengan yang pertama dan kedua, tetapi karena
sifat “kebetulan” semata. Untuk teori yang ketiga, dijelaskan bahwa manusia, di
mana pun ia berada, pada hakikatnya senantiasa menghadapi persoalan kemanusiaan
yang sama dalam hidupnya-pencarian Tuhan, makna cinta, keadilan, kematian, dan
sebagainya. Jadi, ketika merasa perlu untuk “mengabadikan” persoalan yang
dianggap genting itu, boleh jadi ia akan mengekspresikannya dalam wujud yang
lebih kurang sama.
DAFTAR PUSTAKA
Sapardi Djoko Damono. 2005. Pegangan Penelitian Sastra
Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
http://id.wikipedia.org/wiki/sangkuriang, diakses 10 Mei 2009.
http://matadayeuh.wordpress.com, diakses 10 Mei 2009.
http://pendekarjawa.wordpress.com, diakses 10 Mei 2009.
boleh ijin dibuat sebagai bahasan sumber gak??
BalasHapuskebetulan saya juga ada tugas dalam study comparative dan kebetulan menemukan blog ini dan topicnya sama. antara oedipus dan sangkuriang tp saya berniat menelity dari segi pshcologynya. bolehkah :-)
boleh kok
BalasHapus