Sastra Bandingan ( Comparative Literature ) dalam banyak rumusan
atau definisi, umumnya menekannya perbandingan dua karya atau lebih dari
sedikitnya dua Negara yang berbeda. Sastra bandingan bertujuan untuk menghapus
pandangan sempit sastra nasional dan untuk menghilangkan anggapan bahwa satu
sastra nasional lebih baik dari satu sastra nasional lainnya. Sastra
bandingan tidak mempersoalkan masalah perbedaan dalam agama dan kurun waktu.
Karya-karya sastra dapat saja dibahas dan dibandingkan meskipun lokasi cerita,
para pelaku, dan penulisnya menunjukan perbedaan yang jelas.
Hakikat
Kajian Ilmu Sastra Bandingan
Sastra Bandingan dalam kajian umum serta dalam kaitannya dengan
sejarah ataupun yang lainnya adalah bagian dari sastra. Bagaimana menghubungkan
sastra yang satu dengan yang lain, dan bagaimana pengaruh keduanya, serta apa
yang dapat diambil dari sastra ini dan apa yang diberikannya. Atas dasar inilah
kajian dalam sastra bandingan bersifat berpindah dari satu sastra ke sastra
yang lain. Terkadang perpindahan ini dari segi lafadz-lafadz bahasa atau dalam
tema serta dalam gambaran yang di perlihatkan sastrawan dalam temanya, atau
berupa karya-karya seni. Dan batasan-batasan yang memisahnya antara sastra dengan yang lain
pada kajian perbandingan terletak pada bahasa-bahasa. Maka perbedaan antara
bahasa adalah syarat untuk membangun kajian sastra banding. Pengaruh-pengaruh
sastra yang ditulis dengan satu sama lain dan perbandingan yang terjadi antara
sastrawan satu dengan yang lain mengenai bahasa yang satu tidak pula masuk
bahasan sastra banding.
Dalam sastra bandingan kajian sastra dapat dilakukan dengan
mengambil hanya dua karya sastra, misalnya dua sajak, dari sastra nasional yang
berbeda. Selain itu sastra bandingan mencakup pula kajian tentang hubungan karya-karya
sastra dengan berbagai bidang d luar kesusasteraan, misalnya dengan ilmu
pengetahuan, agama, dan karya-karya seni.
Sifat
Kajian Sastra Bandingan
Berdasarkan
sifat kajian, kajian sastra bandingan dapat kita bagi atas beberapa kelompok,
antara lain
1.Kajian
bersifat komparatif
Kajian ini terutama dititikberatkan pada penelaahan teks karya-karya
sastra yang dibandingkan, misalnya karya sastra A dengan karya sastra B,. dapat
dikatakan bahwa kajian ini merupakan titik awal munculnya sastra bandingan,
oleh karena itu, kajian ini selalu dipandang sebagai bagian terpenting dalam
kajian sastra bandingan.
2.Kajian
bersifat historis
Kajian yang bersifat historis ini lebih memusatkan perhatian pada
nilai-nilai historis yang melatarbelakangi kaitan antara satu karya sastra
dengan karya sastra lainnya. Kajian ini dapat berupa, misalnya, masuknya satu
buah pikiran, aliran, teori kritik sastra ataupun jenre dari satu Negara ke
Negara lainnya.
3.Kajian
bersifat Teoritis
Kajian yang bersifat teoritis ini menggambarkan tentang konsep,
criteria, batasan, ataupun aturan-aturan dalam berbagai bidang kesusastraan.
Sebagai contoh adalh konsep-konsep mengenai berbagai aliran, criteria jenre,
teori-teori pendekatan, serta batasan-batasan yang berkaitan dengan masalah
tema.
4.Kajian
bersifat antar-disiplin
Sifat kajian ini sesuai dengan judulnya, tidak menelaah karya-karya
sastra semata-mata, melainkan membicarakan hubungan antara isi karya sastra dengan
berbagai disiplin ilmu pengetahuan, agama, dan bahkan juga karya-karya seni.
Urgensi
Kajian Sastra Banding
Kajian sastra banding memiliki manfaat besar dalam kawasan Nasional
dan Global pada kawasan nasional mengarahkan penelaahan atas sastra asing dan
membandingkannya dengan sastra Umum, menuju peringanan dari segi kefanatikan
bahasa dan sastra umum/ pribumi tanpa mencari kebenaran. Dan dari segi
fungsi-fungsi study sastra banding sebenarnya menjadikan pembelajaran tentang
kebiasaan khusus atas perbedaan antara apa itu nasional yang melekat dan
pendatang yang menyulusup dan dari segi pemikiran dan kebudayaan.
Metode
Pembahasan Dalam Sastra Banding
Seorang pembahas dalam sastra banding membutuhkan kumpulan-kumpulan
pembelajaran yang membantunya dalam mengkaji sastra banding.
1.Study sejarah, Dalam hal
ini sangat penting seorang pembahas memiliki pengetahuan yang luas serta
memahami segala macam kejadian dan perkembangan sejarah, serta mengetahui
hubungan sosial antar bangsa yang begitu beragam. Ilmu sastra banding merupakan
cabang ilmu sastra, dan sejarah adalah bagian terpenting dalam pembelajaran
ini.
2.Setelah mengerti sejarah, pembahas juga Mengetahui perjalanan para tokoh dan study sample
kemanusiaan sastra yang dikenal disetiap bangsa dan sastra itu sendiri. Contoh:
Laila Majnun dalam sastra “Cinta”.
3.Mengetahui ragam bahasa sangatlah penting dalam
study sastra banding. Namun pembahasan tidak
dituntut untuk menggunakan seluruh bahasa dalam study sastra banding ini.
Karena, ini adalah satu hal yang mustahil, cukup baginya memilih salah satu
bahasa yang baik.
4.Terjemah, merupakan
lingkup yang baik untuk mengetahui pengaruh-pengaruh sumber-sumber yang lain
dan karya-karya sastra besar.
5.Kunjungan, merupakan
satu kegiatan yang memiliki faedah besar dalam study sastra banding, karena
hubungan antar bangsa membuka peluang untuk satu pemahaman dan tidak
mengendalikan pembelajaran dari buku saja.
Intertekstualitas
dan Sastra Bandingan
Masalah transformasi tidak hanya menyangkut perubahan dari karya
sastra yang satu menjadi karya sastra yang lain, tetapi juga perubahan dari
jenis karya nonsastra menjadi karya sastra. Beberapa cerpen Ahmad Thari,
misalnya, seperti “Pencuri” (Panji Masyarakat, No. 458, 1982), “Nyanyian Malam”
dan “Syukuran Sutabawor” ternyata menyerupai esainya “Priyayi Zaman Akhir” dan
“Tetangga di Belakang Rumah” dalam rubrik Seloka dan Amanah NO. 59, 20 Oktober
1988 dan No. 85, 7 Oktober 1989.
Masalah lainnya yang cukup menarik terjadi pada kasus Ajip Rosidi.
Puisi Naratif Ajip Rosidi yang berjudul “Jante Arkidam” semula ditulis dalam
bahasa sunda tahun 1956 lalu ditulis kembali dalam bahasa Indonesia. Masalahnya
ada beberapa larik versi sunda yang dihilangkan, dan apakah perbandingan Jante
Arkidam versi itu (Sunda-Indonesia) termasuk sastra bandingan, mengingat bahasa
itu berbeda bahasanya atau intertekstualis??. Di Indonesia atau di
Negara-negara yang multietnik, keadaan seperti itu, bukanlah hal yang aneh.
Dan sejumlah kasus yang telah dipaparkan tadi, yang perlu mendapat
perhatian, barangkali- bukanlah pada perbedaan bahasa, geografi, politik atau
negara, tradisi dan kebudayaan, melainkan pada metodologinya. Jika yang
diperbandingkan sebatas teksnya semata-mata tanpa menghubungkannya dengan
faktor-faktor ekstrinsik maka sebut saja itu sebagai sastra bandingan dengan
pendekatan intertekstualitas. Tetapi jika perbandingannya itu dilanjutkan
dengan penjelasan mengenai hal yang menyangkut perbedaan sosiokultural yang
melingkari diri pengarang masing-masing maka sebut saja itu sebagai studi sastra
bandingan dengan pendekatan sosio-kultural. Justru dalam hal inilah, studi
sastra bandingan, tidak hanya akan menjadi studi interdisipliner tetapi juga,
pada gilirannya, menurut kritikus melebarluaskan wawasan dan pengkajiannya
sekaligus.
Dalam kasus Oedipus dan Sangkuriang, misalnya, mengapa Oedipus
sempat menjadi suami perempuan yang sebenarnya ibunya sendiri, sedangkan
Sangkuriang, menikah pun dengan Dayang Sumbi belum sempat? Tentu saja
persoalnnya menjadi jelas jika kita menghubungkan kultur Sunda pada diri
Sangkuriang dengan kultur Barat pada Oedipu. Sangat boleh jadi, Oedipus tidak
mengenal Konsep “Anak Durhaka” dan “Surga berada di bawah telapak kaki Ibu.”
Mengapa konflik Magdalena Al-Manafaluthi lebih banyak di latarbelakangi oleh
persoalan harta kekayaan dan harkat dan derajat keluarga, sedangkan konflik
Tenggelamnya Kapal van der Wijck Hamka, dilatarbelakngi oleh masalah adapt
(Minang). Masalah yang sama dapat kita kemukakan pada kasus Pariyem dan
Nyanyian Lawino. Mengapa Lawino tampil sebagai sosok perempuan Kasar, pemberang
dan kasar dibandingkan Pariyem yang sumarah, minder, manut. Mengapa pula dalam
cerita-cerita fabel di Eropa, tokoh Srigala selalu tampil sebagai tokoh yang
cerdik dan sering muncul sebagai “mesias”, dewa penolong, sedangkan dalam
cerita fabel Nusantara seperti itu diwakili oleh tokoh Kancil, sebaliknya
tokohnya srigala tampil sebagai tokoh jahat, rakus, dan serakah? Apakah ini
juga erat kaitannya dengan latar belakang sosiokultural yang berlaku di
masyarakat masing-masing?
Banyak contoh serupa masih dapat kita kemukakan. Yang jelas bahwa
penjelasan sosiokultural dalam studi sastra bandingan agaknya, perlu mendapat
tekanan, betapapun itu memerlukan disiplin ilmu lain. Dengan cara ini, niscaya
studi sastra bandingan akan memberi sumbangan berarti bagi usaha memahami
kebudayaan suatu bangsa. Dengan cara itu pula, terbuktilah bahwa bahasa
(sastra) merupakan juga cerminan identitas bangsa.
Sastra
Banding dan Kedudukannya Di Antara Metode-metode Kajian Sastra
Sastra banding adalah salah satu metode study sastra. Dan karena
metode-metode bagian sastra banyak dan berhubungan satu sama lain dan ini
membantu menjelaskan kedudukan sastra banding di antara metode-metode yang
menetapkan masing-masing kepentingannya :
1.Sudut Pandang Sastra
adalah merupakan metode yang membahas mengenai sejarah munculnya dan
perkembangan sastra dari masa ke masa.
2.Kritik Sastra adalah
merupakan metode yang membahas karya-karya sastra, misalnya sebuah novel atau
puisi, dengan mempergunakan teori-teori kritik sastra.
3.Sejarah Sastra adalah
merupakan metode yang berusaha mengungkapkan latar belakang, dan perkembangan
berbagai aspek sastra, misalnya karya sastra, bentuk sastra, aliran sastra,
ataupun teori sastra.
Ketiga metode
ini tidak selalu berdiri sendiri karena kadang-kadang ada kaitan satu sama
lainnya dan perbedaan diantara metode-metode ini berdasarkan sudut pandang yang
kita lihat dari sastra itu sendiri.
Bagus banget postingannya, ilmiah & mudah ditelaah.
BalasHapusTerimakasih sudah posting mengenai sastra banding.