Sabtu, 27 April 2013

Cermin Maneka

DI depan cermin Maneka tertegun. Ia tidak melihat dirinya sendiri.
Kalaulah harus ada satu hari yang harus menjadi lain di antara hari-hari lain, ia tidak mengharapkan kelainan itu berlangsung begini rupa. Setiap malam ia memang berdoa agar hidupnya berubah keesokan harinya. Ia berdoa agar hari-harinya tidak lagi begitu membosankan dan begitu menyebalkan justru karena tidak pernah ada persoalan. Segalanya begitu mudah bagi Maneka, begitu lancar dan begitu beres sehingga tiada lagi perkara yang bisa menjadi masalah baginya. Ternyata, hidup tanpa persoalan juga bukan sesuatu yang menyenangkan. Maka, begitulah, setiap hari ia berdoa agar hidupnya berubah. Dan pagi ini, bangun tidur, hidup tidak berlangsung seperti biasanya. Di depan cermin, ia tidak melihat dirinya sendiri.
Maneka bukan hanya tidak melihat dirinya sendiri. Ia juga tidak melihat kamarnya yang serba kelabu. Temboknya berwarna kelabu, lantai, seprei, langit-langit juga kelabu. Ada kelambu, yang tidak perlu, karena kamarnya ber-AC, warnanya putih lembut, hanya menjadi hiasan ranjangnya. Namun, sisanya serba kelabu. Ada sebuah lukisan besar di dinding, sebuah lukisan hujan gerimis dengan seorang perempuan berjalan menjauh membawa payung. Lukisan itu juga serba kelabu. Kalau ada warna kuning, itulah cahaya lampu di tepi ranjang dan kamar mandi. Bila Maneka menatap lukisan tersebut sebelum tidur, ia selalu ingin bangun sebagai perempuan dalam lukisan itu. “Aku ingin bangun pada suatu pagi di mana aku berjalan menempuh hujan gerimis sambil membawa payung melalui jalan berkelok-kelok di tepi jurang menuju entah ke mana,” ujarnya di dalam hati. Tetapi bukan saja hidupnya tidak berubah, bahkan bermimpi pun ia tidak pernah. Maneka adalah manusia yang tidak pernah mengalami mimpi. Maneka merasa sangat bosan. Hidupnya seperti sebuah garis lurus yang tidak menarik sama sekali. Ia inginkan gerimis, ia inginkan hujan, ia inginkan sebuah perjalanan. Maneka menginginkan perubahan.
Di dalam cermin itu ia melihat hutan. Tentu ini hutan bukan? Pikirnya. Dilihatnya cahaya matahari menembus celah dedaunan dan batang-batang pohon raksasa. Ia melihat sebuah hutan dalam dongeng dengan burung-burung berkicau, kericik air, dan jeritan monyet di kejauhan. Sesekali terdengar kibasan sayap burung-burung besar, menyibak di antara suara-suara serangga yang sebentar diam sebentar berbunyi. Ini sebuah hutan yang bagus, hijau, dan berbau basah. Maneka menghirup bau humus, ia mengulurkan tangannya. Wah, cerminnya tidak berkaca. Cermin tempatnya berhias yang bulat tinggal sebuah bingkai menuju ke dunia yang lain. Masih dengan baju tidurnya yang tipis dan lembut, Maneka melangkah memasuki cermin itu, dan berlari di atas rumput basah menuju ke aliran sungai.
Maneka melompat-lompat riang. Hidupnya sudah berubah. Ada persoalan besar yang harus dipecahkannya kini. Mengapa cerminnya bisa menjadi ajaib seperti itu? Tentu saja hal itu tidak bisa dijawabnya sekarang. Dan tidak harus sekarang. Ia tidak ingin hidupnya segera menjadi membosankan kembali. Ia ingin menikmati dahulu dunia di balik cermin itu, sebuah hutan lebat yang dahsyat dan menyenangkan, sebuah dunia tanpa manusia yang tersimpan dan tersembunyi untuk dirinya sendiri. Ia melihat bunga-bunga yang tidak pernah dilihatnya, bahkan di toko bunga yang paling mahal sekalipun. Bunga-bunga hutan yang tumbuh liar tanpa sentuhan tangan manusia selalu lebih memesona daripada bunga di taman kota manapun. Maneka merendam kakinya yang mungil itu di sungai yang jernih dengan bebatuan yang terlihat jelas di dasarnya. Cahaya matahari membuat segalanya terlihat demi Maneka. Mata Maneka yang takjub bagaikan ingin menelan dunia ke dalam dirinya. Ia tidak pernah mengira bahwa daun yang tertimpa cahaya di sebaliknya memperlihatkan pesona hijau yang berbeda. Kerangka daun menjadi garis-garis hitam, ia tidak seperti melihat daun, melainkan sesuatu yang lain. Mata Maneka berkejap-kejap memandang semesta dedaunan yang melingkupinya.
Ia menoleh ke arah dari mana ia datang. Bisakah ia kembali ke kamarnya melalui cermin itu? Maneka terkesiap, dan berlari sekencang-kencangnya. Disibaknya semak-semak setengah gugup dan melaju ke arah bingkai yang tadi dimasukinya. Ternyata ia sudah jauh berjalan. Dengan terengah-engah Maneka berlari mendaki. Burung-burung beterbangan dari semak karena terkejut. Kini Maneka tak peduli. Ia berlari dan berlari, sampai akhirnya melihat tempat di mana ia tadi masuk. Ia melompat kembali ke kamarnya. Angin bertiup, dan sejumlah daun kering ikut beterbangan masuk ke sana. Maneka menoleh, ia melihat dirinya di cermin, di dalam kamar yang serba kelabu, masih terengah-engah dan baju tidurnya robek di sana-sini. Terdengar ketukan di pintu.
“Maneka! Maneka! Sudah jam segini kok belum bangun?”
Ibunya tidak menunggu. Ia membuka pintu. Dilihatnya Maneka sedang memandang cermin dengan terengah-engah.
“Maneka! Kami dari mana? Lihat kakimu! Kotor!”
Maneka melihat kakinya, penuh dengan tanah yang basah. Lantai kamarnya penuh jejaknya yang kotor. Daun-daun kering bertebaran di atas tempat tidur.
Jendela masih tertutup. Ibunya tidak mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi. Namun, ia senang melihat mata Maneka yang cemerlang seperti bintang.
Setelah ibunya pergi, Maneka menyanyi:
cerminku, cerminku
kenapa kamu bisa begitu…
***
SEJAK peristiwa itu Maneka selalu berangkat tidur dengan perasaan pergi ke sebuah negeri yang jauh. Ia masih selalu tidur tanpa bermimpi. Tetapi ketika bangun, matanya segera melirik ke arah cermin, dan ia tahu betapa dunia sudah berubah di seberang sana. Ia akan mengalami mimpi-mimpi yang nyata. Masih dari tempat tidurnya ia tahu bagaimana segalanya menjadi lain, karena cermin itu tidak pernah lagi memantulkan kamarnya yang serba kelabu. Apabila ia terbangun, ia melihat tepi sebuah dunia yang lain di mana ia bisa mengembara sepuas-puasnya. Seluruh dunia terdapat di balik cermin itu.
Pernah suatu ketika ia bahkan terbangun karena mendengar suara panggilan.
“Maneka! Maneka!”
Ia menuju ke cermin itu, terlihat dermaga yang menuju ke sebuah kapal.
“Ayo! Jadi ikut tidak?”
Ia melihat sebuah kapal pesiar dengan orang-orang berpesta di atasnya. Maneka tidak beranjak. Ia tidak suka berada di tengah orang banyak. Ia lebih suka sendiri. Maka ia tidak melangkahkan kakinya. Ia menggeleng. Perempuan yang tadi memanggilnya pun pergi. Dilihatnya perempuan yang juga masih mengenakan baju tidur itu menaiki tangga kapal, dan kapal itu pun membunyikan peluitnya. Maneka terus melihat kapal yang putih itu, sampai menghilang ke balik cakrawala.
Dunia begitu luas di balik cermin itu. Dalam waktu singkat Maneka merasa dirinya begitu kaya karena mengetahui banyak hal yang tidak diketahui orang lain. Ibunya masih selalu merasa bingung dengan keajaiban di dalam kamar Maneka. Kamar yang serba kelabu itu semakin sering menyisakan jejak-jejak dari dunia di seberang cermin. Bukan sekadar tanah dan daun-daun kering, tapi juga bunga-bunga, kayu bakar, mutiara, baju zirah, kitab sihir, tikus putih, sup kacang merah, topi, tombak, prangko, ban mobil, komik, mahkota, kain batik, disket, kamera, cermin kecil, tas, sapu lidi, bros, liontin, kulit kerang, teropong bintang, kaus oblong I Love New York, batu-batu pantai, pistol, pil koplo, dan akhirnya juga kondom.
Tiga benda terakhir itu membuat ibunya panik, namun tetap berusaha bijak.
“Maneka, Ibu menganggap kamu sudah dewasa, jadi Ibu sepenuhnya percaya kamu tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Tolong hati-hatilah setiap kali engkau melangkah dalam hidupmu. Ibu tidak ingin kehilangan kamu.”
Maneka meyakinkan ibunya bahwa ia baik-baik saja, dan ibunya memilih untuk percaya. Tentu saja. Apalah yang harus dikhawatirkan dari seorang dara yang tidak tergantung kepada apa pun dalam menentukan langkahnya?
Pagi ini Maneka kembali bangun dan kembali melirik, hidup sudah tidak membosankan lagi bagi Maneka karena setiap hari betul-betul dialaminya peristiwa baru. Ketika ia melirik, dilihatnya semburat cahaya senja yang kemerah-merahan dari langit di luar sana yang membias ke dalam kamarnya. Kamarnya tidak lagi kelabu pagi itu, melainkan kemerah-merahan karena cahaya senja dari matahari yang sedang turun perlahan-lahan ke balik cakrawala di seberang sana. Angin meniupkan bau laut. Cuping hidung Maneka bergerak. Ia melompat bangun dan menengok cermin itu, dan tertatap olehnya sebuah pemandangan yang penuh pesona. Tiada yang bisa lebih memesona selain senja merah keemas-emasan di tepi sebuah pantai yang membuat langit semburat jingga seperti seolah-olah terbakar sehingga air laut yang memantulkannya bagai genangan cat air yang kejingga-jinggaan dan keemas-emasan dan berkilau-kilauan.
Maneka beranjak dan melompat tanpa berpikir lagi. Baginya pemandangan senja adalah segala-galanya dalam hidup ini karena adalah senja yang memberi keyakinan kepadanya betapa hidup memang tidak akan pernah sama. Senja selalu menyadarkan Maneka, betapa perubahan adalah keberlangsungan setiap detik dan mesti betapa indah dan betapa penuh pesona senja itu, namun, akan selalu berakhir. Itulah sebabnya ia selalu memburu senja, seperti memburu cinta, betapapun tiada akan pernah abadinya cinta itu.
Ia berlari sepanjang pasir menuju ke pantai. Senja memang gemilang, tetapi dilihatnya mayat bergelimpangan. Mayat-mayat bergelimpangan sepanjang pantai yang berkilauan, sesekali terdorong karena hempasan ombak. Maneka terpana, ratusan, bahkan ribuan mayat terserak sepanjang pantai itu bagaikan akhir dari sebuah pertempuran yang mahadahsyat. Pantai begitu indah, namun melapetaka hanya menyampaikan duka. Maneka melangkah di antara ribuan mayat yang tergolek dan bertumpuk bagaikan susunan sebuah monumen. Sesekali dilihatnya darah mengalir di pasir yang basah. Ombak berdebur dan menghempas seperti biasanya ombak berdebur dan menghempas, tapi kali ini Maneka tidak sempat merenung. Ia memeriksa mayat itu satu persatu dengan harapan setidaknya masih bisa menemukan satu atau dua atau beberapa orang yang masih hidup, namun semuanya sudah mati.
Maneka berlari dari mayat yang satu ke mayat yang lain. Kali ini dunia di balik cermin itu bukan lagi sesuatu yang membuatnya meloncat-loncat bahagia. Air mata Maneka berderai melihat wajah-wajah yang menderita dalam kematiannya. Wajah-wajah yang penuh dengan cerita tak terbahasakan, namun menularkan langsung pengalaman duka mereka yang dalam. Mayat yang tertelungkup dengan panah di punggungnya, mayat yang terkapar dengan tombak di perutnya, dan mayat terduduk dengan belati di dadanya. Bagaimanakah pengalaman bisa begitu menyakitkan? Dunia Maneka yang indah, meriah, dan bahagia dalam kesendiriannya, rontok dan hancur lebur berkeping-keping tanpa sisa dalam dunia orang banyak. Cinta dan senja yang dirindukannya menjelma kepahitan tak tertahankan.
“Maneka! Maneka!” Ia mendengar suara, namun tak dipedulikannya.
Di tepi pantai itu, pohon-pohon nyiur berderet dalam siluet yang bagus, bagaikan pemandangan dari sebuah brosur pariwisata. Langit hanya merah dan Maneka menjadi sosok hitam yang berjalan di antara mayat-mayat bergelimpangan. Burung-burung camar mengakhiri jeritannya dan menghilang. Maneka termenung dalam kegelapan yang menjelang. Mayat-mayat itu adalah mayat orang-orang yang terbunuh. Mayat-mayat itu masih hangat, darah masih mengalir, beberapa di antaranya bahkan baru menghembuskan napas penghabisan ketika Maneka mendekatinya. Hanya beberapa saat sebelum Maneka melangkah dari cermin itu dan berlari menuju ke pantai. Apakah yang telah terjadi? Maneka berharap kejadian yang dialaminya kali ini benar-benar hanya sebuah mimpi buruk.
Maneka melangkah meninggalkan pantai. Debur ombak menjadi suara di kejauhan. Di atas bukit pasir ia tertegun, ke manakah ia harus kembali? Tidak ada kehidupan di tempat ini, hanya mayat-mayat, pasir, dan debur ombak. Ia tak bisa menemukan tempat dari mana ia tadi datang.
***
DI kamarnya yang serba kelabu, ibunya membuka pintu. Kamar itu kosong. Ibunya melangkah masuk. Dibukanya kamar mandi. Juga kosong. Dari cermin yang bulat dan besar, ibunya melihat lukisan yang selalu dipandang Maneka. Lukisan seorang perempuan yang melangkah dalam hujan gerimis, menempuh jalan berkelok-kelok di tepi jurang sambil membawa payung. Lukisan itu mengingatkannya kepada sesuatu.
“Aku ingin pergi jauh Ibu,” kata Maneka selalu di masa kecilnya, “pergi jauh ke sebuah dunia yang belum kukenal.”
Ibunya keluar kamar. Ia memanggil.
“Maneka!”
Cermin Maneka tetap seperti dulu, diam dan membisu, membayangkan kembali kamar yang kelabu.
Pondok Aren, Minggu Legi, 17 September 2000.   SGA                                          




Tidak ada komentar:

Posting Komentar