Kalaulah harus ada satu hari yang harus menjadi lain di antara hari-hari lain,
ia tidak mengharapkan kelainan itu berlangsung begini rupa. Setiap malam ia
memang berdoa agar hidupnya berubah keesokan harinya. Ia berdoa agar
hari-harinya tidak lagi begitu membosankan dan begitu menyebalkan justru karena
tidak pernah ada persoalan. Segalanya begitu mudah bagi Maneka, begitu lancar
dan begitu beres sehingga tiada lagi perkara yang bisa menjadi masalah baginya.
Ternyata, hidup tanpa persoalan juga bukan sesuatu yang menyenangkan. Maka,
begitulah, setiap hari ia berdoa agar hidupnya berubah. Dan pagi ini, bangun
tidur, hidup tidak berlangsung seperti biasanya. Di depan cermin, ia tidak
melihat dirinya sendiri.
Maneka bukan hanya tidak melihat dirinya sendiri.
Ia juga tidak melihat kamarnya yang serba kelabu. Temboknya berwarna kelabu,
lantai, seprei, langit-langit juga kelabu. Ada kelambu, yang tidak perlu,
karena kamarnya ber-AC, warnanya putih lembut, hanya menjadi hiasan ranjangnya.
Namun, sisanya serba kelabu. Ada sebuah lukisan besar di dinding, sebuah
lukisan hujan gerimis dengan seorang perempuan berjalan menjauh membawa payung.
Lukisan itu juga serba kelabu. Kalau ada warna kuning, itulah cahaya lampu di
tepi ranjang dan kamar mandi. Bila Maneka menatap lukisan tersebut sebelum
tidur, ia selalu ingin bangun sebagai perempuan dalam lukisan itu. “Aku ingin
bangun pada suatu pagi di mana aku berjalan menempuh hujan gerimis sambil
membawa payung melalui jalan berkelok-kelok di tepi jurang menuju entah ke
mana,” ujarnya di dalam hati. Tetapi bukan saja hidupnya tidak berubah, bahkan
bermimpi pun ia tidak pernah. Maneka adalah manusia yang tidak pernah mengalami
mimpi. Maneka merasa sangat bosan. Hidupnya seperti sebuah garis lurus yang
tidak menarik sama sekali. Ia inginkan gerimis, ia inginkan hujan, ia inginkan
sebuah perjalanan. Maneka menginginkan perubahan.
Di dalam cermin itu ia melihat hutan. Tentu ini
hutan bukan? Pikirnya. Dilihatnya cahaya matahari menembus celah dedaunan dan
batang-batang pohon raksasa. Ia melihat sebuah hutan dalam dongeng dengan
burung-burung berkicau, kericik air, dan jeritan monyet di kejauhan. Sesekali
terdengar kibasan sayap burung-burung besar, menyibak di antara suara-suara
serangga yang sebentar diam sebentar berbunyi. Ini sebuah hutan yang bagus,
hijau, dan berbau basah. Maneka menghirup bau humus, ia mengulurkan tangannya.
Wah, cerminnya tidak berkaca. Cermin tempatnya berhias yang bulat tinggal
sebuah bingkai menuju ke dunia yang lain. Masih dengan baju tidurnya yang tipis
dan lembut, Maneka melangkah memasuki cermin itu, dan berlari di atas rumput
basah menuju ke aliran sungai.
Maneka melompat-lompat riang. Hidupnya sudah
berubah. Ada persoalan besar yang harus dipecahkannya kini. Mengapa cerminnya
bisa menjadi ajaib seperti itu? Tentu saja hal itu tidak bisa dijawabnya
sekarang. Dan tidak harus sekarang. Ia tidak ingin hidupnya segera menjadi
membosankan kembali. Ia ingin menikmati dahulu dunia di balik cermin itu,
sebuah hutan lebat yang dahsyat dan menyenangkan, sebuah dunia tanpa manusia
yang tersimpan dan tersembunyi untuk dirinya sendiri. Ia melihat bunga-bunga
yang tidak pernah dilihatnya, bahkan di toko bunga yang paling mahal sekalipun.
Bunga-bunga hutan yang tumbuh liar tanpa sentuhan tangan manusia selalu lebih
memesona daripada bunga di taman kota manapun. Maneka merendam kakinya yang
mungil itu di sungai yang jernih dengan bebatuan yang terlihat jelas di
dasarnya. Cahaya matahari membuat segalanya terlihat demi Maneka. Mata Maneka yang
takjub bagaikan ingin menelan dunia ke dalam dirinya. Ia tidak pernah mengira
bahwa daun yang tertimpa cahaya di sebaliknya memperlihatkan pesona hijau yang
berbeda. Kerangka daun menjadi garis-garis hitam, ia tidak seperti melihat
daun, melainkan sesuatu yang lain. Mata Maneka berkejap-kejap memandang semesta
dedaunan yang melingkupinya.
Ia menoleh ke arah dari mana ia datang. Bisakah ia
kembali ke kamarnya melalui cermin itu? Maneka terkesiap, dan berlari
sekencang-kencangnya. Disibaknya semak-semak setengah gugup dan melaju ke arah
bingkai yang tadi dimasukinya. Ternyata ia sudah jauh berjalan. Dengan
terengah-engah Maneka berlari mendaki. Burung-burung beterbangan dari semak
karena terkejut. Kini Maneka tak peduli. Ia berlari dan berlari, sampai akhirnya
melihat tempat di mana ia tadi masuk. Ia melompat kembali ke kamarnya. Angin
bertiup, dan sejumlah daun kering ikut beterbangan masuk ke sana. Maneka
menoleh, ia melihat dirinya di cermin, di dalam kamar yang serba kelabu, masih
terengah-engah dan baju tidurnya robek di sana-sini. Terdengar ketukan di
pintu.
“Maneka! Maneka! Sudah jam segini kok belum
bangun?”
Ibunya tidak menunggu. Ia membuka pintu. Dilihatnya
Maneka sedang memandang cermin dengan terengah-engah.
“Maneka! Kami dari mana? Lihat kakimu! Kotor!”
Maneka melihat kakinya, penuh dengan tanah yang
basah. Lantai kamarnya penuh jejaknya yang kotor. Daun-daun kering bertebaran
di atas tempat tidur.
Jendela masih tertutup. Ibunya tidak mengerti
bagaimana semua ini bisa terjadi. Namun, ia senang melihat mata Maneka yang
cemerlang seperti bintang.
Setelah ibunya pergi, Maneka menyanyi:
cerminku, cerminku
kenapa kamu bisa begitu…
***
SEJAK peristiwa itu Maneka selalu berangkat tidur dengan perasaan pergi ke sebuah negeri yang jauh. Ia masih selalu tidur tanpa bermimpi. Tetapi ketika bangun, matanya segera melirik ke arah cermin, dan ia tahu betapa dunia sudah berubah di seberang sana. Ia akan mengalami mimpi-mimpi yang nyata. Masih dari tempat tidurnya ia tahu bagaimana segalanya menjadi lain, karena cermin itu tidak pernah lagi memantulkan kamarnya yang serba kelabu. Apabila ia terbangun, ia melihat tepi sebuah dunia yang lain di mana ia bisa mengembara sepuas-puasnya. Seluruh dunia terdapat di balik cermin itu.
***
SEJAK peristiwa itu Maneka selalu berangkat tidur dengan perasaan pergi ke sebuah negeri yang jauh. Ia masih selalu tidur tanpa bermimpi. Tetapi ketika bangun, matanya segera melirik ke arah cermin, dan ia tahu betapa dunia sudah berubah di seberang sana. Ia akan mengalami mimpi-mimpi yang nyata. Masih dari tempat tidurnya ia tahu bagaimana segalanya menjadi lain, karena cermin itu tidak pernah lagi memantulkan kamarnya yang serba kelabu. Apabila ia terbangun, ia melihat tepi sebuah dunia yang lain di mana ia bisa mengembara sepuas-puasnya. Seluruh dunia terdapat di balik cermin itu.
Pernah suatu ketika ia bahkan terbangun karena
mendengar suara panggilan.
“Maneka! Maneka!”
Ia menuju ke cermin itu, terlihat dermaga yang
menuju ke sebuah kapal.
“Ayo! Jadi ikut tidak?”
Ia melihat sebuah kapal pesiar dengan orang-orang
berpesta di atasnya. Maneka tidak beranjak. Ia tidak suka berada di tengah
orang banyak. Ia lebih suka sendiri. Maka ia tidak melangkahkan kakinya. Ia
menggeleng. Perempuan yang tadi memanggilnya pun pergi. Dilihatnya perempuan
yang juga masih mengenakan baju tidur itu menaiki tangga kapal, dan kapal itu
pun membunyikan peluitnya. Maneka terus melihat kapal yang putih itu, sampai
menghilang ke balik cakrawala.
Dunia begitu luas di balik cermin itu. Dalam waktu
singkat Maneka merasa dirinya begitu kaya karena mengetahui banyak hal yang
tidak diketahui orang lain. Ibunya masih selalu merasa bingung dengan keajaiban
di dalam kamar Maneka. Kamar yang serba kelabu itu semakin sering menyisakan
jejak-jejak dari dunia di seberang cermin. Bukan sekadar tanah dan daun-daun
kering, tapi juga bunga-bunga, kayu bakar, mutiara, baju zirah, kitab sihir,
tikus putih, sup kacang merah, topi, tombak, prangko, ban mobil, komik,
mahkota, kain batik, disket, kamera, cermin kecil, tas, sapu lidi, bros,
liontin, kulit kerang, teropong bintang, kaus oblong I Love New York, batu-batu
pantai, pistol, pil koplo, dan akhirnya juga kondom.
Tiga benda terakhir itu membuat ibunya panik, namun
tetap berusaha bijak.
“Maneka, Ibu menganggap kamu sudah dewasa, jadi Ibu
sepenuhnya percaya kamu tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Tolong
hati-hatilah setiap kali engkau melangkah dalam hidupmu. Ibu tidak ingin
kehilangan kamu.”
Maneka meyakinkan ibunya bahwa ia baik-baik saja,
dan ibunya memilih untuk percaya. Tentu saja. Apalah yang harus dikhawatirkan
dari seorang dara yang tidak tergantung kepada apa pun dalam menentukan
langkahnya?
Pagi ini Maneka kembali bangun dan kembali melirik,
hidup sudah tidak membosankan lagi bagi Maneka karena setiap hari betul-betul
dialaminya peristiwa baru. Ketika ia melirik, dilihatnya semburat cahaya senja
yang kemerah-merahan dari langit di luar sana yang membias ke dalam kamarnya.
Kamarnya tidak lagi kelabu pagi itu, melainkan kemerah-merahan karena cahaya
senja dari matahari yang sedang turun perlahan-lahan ke balik cakrawala di
seberang sana. Angin meniupkan bau laut. Cuping hidung Maneka bergerak. Ia
melompat bangun dan menengok cermin itu, dan tertatap olehnya sebuah
pemandangan yang penuh pesona. Tiada yang bisa lebih memesona selain senja
merah keemas-emasan di tepi sebuah pantai yang membuat langit semburat jingga
seperti seolah-olah terbakar sehingga air laut yang memantulkannya bagai
genangan cat air yang kejingga-jinggaan dan keemas-emasan dan berkilau-kilauan.
Maneka beranjak dan melompat tanpa berpikir lagi.
Baginya pemandangan senja adalah segala-galanya dalam hidup ini karena adalah
senja yang memberi keyakinan kepadanya betapa hidup memang tidak akan pernah
sama. Senja selalu menyadarkan Maneka, betapa perubahan adalah keberlangsungan
setiap detik dan mesti betapa indah dan betapa penuh pesona senja itu, namun,
akan selalu berakhir. Itulah sebabnya ia selalu memburu senja, seperti memburu
cinta, betapapun tiada akan pernah abadinya cinta itu.
Ia berlari sepanjang pasir menuju ke pantai. Senja
memang gemilang, tetapi dilihatnya mayat bergelimpangan. Mayat-mayat
bergelimpangan sepanjang pantai yang berkilauan, sesekali terdorong karena
hempasan ombak. Maneka terpana, ratusan, bahkan ribuan mayat terserak sepanjang
pantai itu bagaikan akhir dari sebuah pertempuran yang mahadahsyat. Pantai
begitu indah, namun melapetaka hanya menyampaikan duka. Maneka melangkah di
antara ribuan mayat yang tergolek dan bertumpuk bagaikan susunan sebuah
monumen. Sesekali dilihatnya darah mengalir di pasir yang basah. Ombak berdebur
dan menghempas seperti biasanya ombak berdebur dan menghempas, tapi kali ini
Maneka tidak sempat merenung. Ia memeriksa mayat itu satu persatu dengan
harapan setidaknya masih bisa menemukan satu atau dua atau beberapa orang yang
masih hidup, namun semuanya sudah mati.
Maneka berlari dari mayat yang satu ke mayat yang
lain. Kali ini dunia di balik cermin itu bukan lagi sesuatu yang membuatnya
meloncat-loncat bahagia. Air mata Maneka berderai melihat wajah-wajah yang
menderita dalam kematiannya. Wajah-wajah yang penuh dengan cerita tak
terbahasakan, namun menularkan langsung pengalaman duka mereka yang dalam.
Mayat yang tertelungkup dengan panah di punggungnya, mayat yang terkapar dengan
tombak di perutnya, dan mayat terduduk dengan belati di dadanya. Bagaimanakah
pengalaman bisa begitu menyakitkan? Dunia Maneka yang indah, meriah, dan
bahagia dalam kesendiriannya, rontok dan hancur lebur berkeping-keping tanpa
sisa dalam dunia orang banyak. Cinta dan senja yang dirindukannya menjelma
kepahitan tak tertahankan.
“Maneka! Maneka!” Ia mendengar suara, namun tak dipedulikannya.
Di tepi pantai itu, pohon-pohon nyiur berderet
dalam siluet yang bagus, bagaikan pemandangan dari sebuah brosur pariwisata.
Langit hanya merah dan Maneka menjadi sosok hitam yang berjalan di antara
mayat-mayat bergelimpangan. Burung-burung camar mengakhiri jeritannya dan
menghilang. Maneka termenung dalam kegelapan yang menjelang. Mayat-mayat itu
adalah mayat orang-orang yang terbunuh. Mayat-mayat itu masih hangat, darah
masih mengalir, beberapa di antaranya bahkan baru menghembuskan napas penghabisan
ketika Maneka mendekatinya. Hanya beberapa saat sebelum Maneka melangkah dari
cermin itu dan berlari menuju ke pantai. Apakah yang telah terjadi? Maneka
berharap kejadian yang dialaminya kali ini benar-benar hanya sebuah mimpi
buruk.
Maneka melangkah meninggalkan pantai. Debur ombak
menjadi suara di kejauhan. Di atas bukit pasir ia tertegun, ke manakah ia harus
kembali? Tidak ada kehidupan di tempat ini, hanya mayat-mayat, pasir, dan debur
ombak. Ia tak bisa menemukan tempat dari mana ia tadi datang.
***
DI kamarnya yang serba kelabu, ibunya membuka pintu. Kamar itu kosong. Ibunya melangkah masuk. Dibukanya kamar mandi. Juga kosong. Dari cermin yang bulat dan besar, ibunya melihat lukisan yang selalu dipandang Maneka. Lukisan seorang perempuan yang melangkah dalam hujan gerimis, menempuh jalan berkelok-kelok di tepi jurang sambil membawa payung. Lukisan itu mengingatkannya kepada sesuatu.
***
DI kamarnya yang serba kelabu, ibunya membuka pintu. Kamar itu kosong. Ibunya melangkah masuk. Dibukanya kamar mandi. Juga kosong. Dari cermin yang bulat dan besar, ibunya melihat lukisan yang selalu dipandang Maneka. Lukisan seorang perempuan yang melangkah dalam hujan gerimis, menempuh jalan berkelok-kelok di tepi jurang sambil membawa payung. Lukisan itu mengingatkannya kepada sesuatu.
“Aku ingin pergi jauh Ibu,” kata Maneka selalu di
masa kecilnya, “pergi jauh ke sebuah dunia yang belum kukenal.”
Ibunya keluar kamar. Ia memanggil.
“Maneka!”
Cermin Maneka tetap seperti dulu, diam dan membisu,
membayangkan kembali kamar yang kelabu.
Pondok Aren, Minggu Legi, 17
September 2000. SGA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar