suka demikian karena telah jadi pilihannya. Ia bahagia dalam
ketidakbahagiaannya atau ia tidak bahagia dalam kebahagiaannya.Ia memang suka
berfilsafat. Aku sering bingung mendengar kata-katanya, tapi tetap mencoba
melayaninya. Jika sudah kenal, berbicara dengan dia amat menyenangkan.
Pengetahuannya luas dan apa yang dikatakannya sering tidak terbantah.
Kawan-kawan yang lain agak segan terhadapnya, karena ia terlalu sering
menelanjangi kebebalan mereka di muka umum. Mereka bilang ia terlalu asyik
sendiri, suka berkhayal, nyentrik dan tidak bisa bergaul.
Aku sendiri menganggap ia manusia biasa, yang
sedang menjalani tahap-tahap kehidupannya. Tapi tahap itu dilaluinya dengan
amat serius dan penuh makna. Aku sendiri heran kenapa bisa demikian. Selama
beberapa tahun terakhir, gejala itu memang mulai tampak.
“Aku bosan lihat orang-orang itu.”
“Kenapa?”
“Munafik, penjilat, tukang onani jiwa.”
“Wah, jangan begitu dong. Itu manusiawi kan?”
“Memang, tapi sebal melihatnya. Jenuh.” Ia sangat
serius, sementara banyak orang di sekelilingnya makin hari makin mencari
kemudahan dan kesantaian. Ia tak mendapat tanggapan, dan marah.
Untung ia bisa menyalurkannya dalam latihan teater
atau menulis puisi, namun ini tidak berlangsung lama. Rupanya dunia kesenian pun
tak memuaskan. Ia ketemu lagi dengan pemimpi, pembual dan juga penjilat.
Semenjak ia keluar dari perguruan tinggi dan rombongan sandiwara itu dua tahun
yang lalu, aku tak pernah lagi melihatnya.
Aku teringat ketika untuk terakhir kalinya
berpapasan dengan dia di jalan.
“He kampret, dari mana saja kamu?”
“Bertapa,” katanya dengan lesu.
Dalam remang senja itu, perlahan-lahan kemudian
menjadi jelas, bajunya begitu kumal meskipun termasuk mahal. Juga celananya.
Sepatunya sih normal, tapi heh rambutnya itu, wah seperti sapujagat: kusut dan
kaku, dan entah berapa bulan tidak disisir. Dulu, meskipun ia termasuk seniman
yang urakan, pakaiannya termasuk rapi dan mengikuti mode.
Pasti perubahan-perubahan semacam ini disebabkan
oleh suatu hal yang sangat mempengaruhi dirinya. “Bertapa? Bertapa di mana? Gua
Langse?”
“Bertapa kok di mana! Zaman sekarang orang bertapa
di kamarnya
sendiri! Tahu nggak lu?” Busyet! Ketus amat.
sendiri! Tahu nggak lu?” Busyet! Ketus amat.
Aku kurang bisa mengerti. Kebudayaan macam mana
yang menghasilkan manusia ini. Dan apakah yang dikerjakannya selama ini? “Baca
buku! Hanya baca buku! Tidak makan dan tidak minum!” Wah, wah, wah, ia memang
sudah berubah rupanya. Semua kitab suci dilalapnya, mulai Zabur, Taurat, Injil,
Qur’an sampai Goethe, Tao, Khonghucu, Wedhatama, Wulangreh, Upanishad,
Bhagawadgita, Sartre, Heidegger, Karl Marx dan Ranggawarsita. Kini di tangannya
kulihat pula bukunya Erick Fromm, Schumacher dan sebuah buku tentang Zen.
Rupanya ia barusan dari toko buku.
“Masih jenuh melihat manusia?”
“O tentu, tentu. Di toko buku tadi banyak orang sok
pintar. Ada orang memborong ensiklopedi. Melihat tampangnya sih, cuma buat
pajangan ruang tamu. Sialan! Dasar gombal semua orang-orang model begini!”
Aku mengajaknya nonton film. Ia bertanya dulu film
apa. Ia benci film action. Maunya nonton film-film Ingmar Bergman, Werner
Herzog atau Wim Wenders. Tapi tentu saja tidak ada. Aku bilang ini film
Indonesia pemenang Citra, namun dengan hormat ia menolak, ada hal yang lebih
penting, katanya. Iseng-iseng kuajak ia ke tempat pelacuran. Lho, ia mau.
penting, katanya. Iseng-iseng kuajak ia ke tempat pelacuran. Lho, ia mau.
“Ini baru namanya hidup,” katanya setelah keluar
dari kamar.
Ditenggaknya segelas bir. Dan sepanjang malam itu,
di tengah alunan panas musik dangdut, aku mendengar kuliah-kuliahnya tentang
individualisme, eksistensialisme, kapitalisme, ekosistem, religiusitas, dan
kritik budaya. Sudah melayang aku dengan berbotol-botol bir, ditambah pula
dengan pikiran-pikirannya yang tinggi di awan itu, aku tiba-tiba saja
tergeletak di meja, tertidur pulas.
Esoknya ia sudah tidak ada. Dan tujuh hari pun
menjadi seminggu. Empat minggu menjadi sebulan. Dua belas bulan menjadi
setahun. Waktu begitu saja lewat tanpa terasa. Banyak orang merasa telah
menjadi tua, sementara orang-orang lain malah merasa makin muda. Kehidupan
masih berjalan seperti biasa. Ada orang jujur yang tak pernah mujur, dan orang
yang berjiwa bunglon masih selamat. Dunia belum betul-betul kiamat. Sungai
masih mengalir, dari gunung ke desa, ke kota, ke muara, ke laut, bersama
sejumlah besar sampah.
Di jendelaku masih ada burung yang bulunya kuning,
yang tiap pagi masih berkicau. Mungkin tiba saatnya nanti burung tidak bisa
berkicau, kehilangan bahasa. Angin masih silir. Senja masih jingga.
Fajar masih ungu. Telepon itu berdering.
Fajar masih ungu. Telepon itu berdering.
“Halo? Ya? He! Telepon dari mana kamu?”
“Dari rumah.” “Di mana? Aku pengin ketemu kamu.”
“Sorry saja bung! Rahasia! Sekarang tidak ada
sistem ketemu. Kalau ada perlu, telepon saja, ini nomorku, 717375.”
“Tapi ini penting.”
“Takut disadap?”
“Soalnya ini masalah pribadi.”
“Apalagi itu, sorry.”
Kami bercakap sebagaimana layaknya dua kawan yang
lama tidak berjumpa. Ia bertanya tentang segala macam hal dengan suatu urutan
pertanyaan yang sistematis, sehingga kalau jawaban itu dikumpulkan, mungkin
bisa merupakan laporan riset. Ha! Ini perkembangan baru. Ia haus informasi,
tapi begitu pelit akan informasi dirinya sendiri. Ketika hubungan itu selesai,
kembali lagi ia menjadi misteri bagiku. Apalagi bagi kawan-kawan yang lain.
Dengan bodoh aku masih bertanya sama mereka di mana
alamatnya. Tentu saja tidak tahu. Kutanyakan pada orang tuanya, ini pun nihil.
Ternyata selama ini mereka pun hanya berhubungan lewat telepon.
Telepon? Heh, tolol sekali aku. Kutelepon dia. “Halo?” Telepon segera diangkat.
Telepon? Heh, tolol sekali aku. Kutelepon dia. “Halo?” Telepon segera diangkat.
“Di mana sih rumah kamu?”
“Lu ngga perlu tau gue punye rume. Kalok perlu
telepon aje bung!”
“Gue ade perlu ni ame lu!” Eh, kenapa aku jadi
ikut-ikutan bergaya Betawi?
“Sampaikan saja lewat telepon!”
Ia tampak terganggu.
“Pertemuannya yang penting!”
“Maaf, aku tidak terima tamu.”
Klak.
Nging.
Tut tut tut.
Bangkek orang ini. Sombong sekali dia.
Nging.
Tut tut tut.
Bangkek orang ini. Sombong sekali dia.
Tapi aku jadi penasaran. Seperti detektif film seri
televisi, kucoba menyelusuri jejaknya. Namun ia sungguh pintar. Berbagai tabir
tidak bisa disingkapkan dengan segera. Banyak juga waktu terbuang untuk mencari
batang hidungnya. Mula-mula kuhubungi kantor telepon. Nomor teleponnya memang
ada alamatnya, kudatangi rumah itu, ternyata sebuah rumah kecil yang kosong.
Pintunya terkunci dari luar, kudobrak. Dan tetap kosong. Apa artinya ini?
Kutunjukkan pada kantor telepon, mereka bilang memang itu alamatnya, dan tiap
bulan menerima uang ongkos telepon. Tapi siapa yang masang? Segera petugas
dicari, tapi ke mana petugas itu? Ia sudah dipindahkan ke luar kota.
Aku benar-benar penasaran. Segala alamat rumah di
kantor kotamadya kucek dan cek kembali, kalau-kalau ada namanya. Tapi sungguh
rumit.
Biasa, administrasi yang kacau. Jadi? Nihil. Lantas bagaimana? Ha!
Malam hari! Ia suka keluar malam, aku harus begadang sepanjang malam menelusuri kota ini.Maka ketika malam dengan jubahnya yang hitam telah tengkurap menelungkupi kota.
Biasa, administrasi yang kacau. Jadi? Nihil. Lantas bagaimana? Ha!
Malam hari! Ia suka keluar malam, aku harus begadang sepanjang malam menelusuri kota ini.Maka ketika malam dengan jubahnya yang hitam telah tengkurap menelungkupi kota.
Ketika dingin mulai menyerbu jalanan yang mulai
basah oleh gerimis, dengan krah jas hujan yang tegak menutupi telinga, dengan
topi model bandit Itali, lengkaplah aku sebagai intel Melayu yang amatiran.Tapi
jadinya aku lebih mengenal kehidupan. Aku tahu apa yang terjadi di hotel-hotel,
aku tahu dari desa mana pelacur jalanan itu berasal, aku bisa mengendus mobil
pejabat siapa yang diparkir di motel itu. Kutelusuri segala tempat hiburan
malam, perpustakaan, restoran, kompleks gelandangan, warung-warung kopi, tempat
banci-banci mangkal, tempat homo-homo berkencan, mesjid, gereja, vihara,
klenteng …
Bermalam-malam sudah dan hasilnya nol besar.
Bermalam-malam sudah dan hasilnya nol besar.
Tak terasa sebetulnya aku mendapatkan sesuatu yang
lain, sesuatu yang berharga. Malam memang menyingkapkan kepalsuan. Di balik
kekelaman itu topeng-topeng dibuka dan bentuk asli yang serba gombal itu pun
bisa kutangkap, kekelaman seperti memberikan perasaan aman dan
terlindung. Bisa kudengar bisik-bisik sekongkol politik, kasak-kusuk para penyebar gosip. Bisa kulihat para penipu diri beraksi. Antara strip-tease dan lonceng gereja, antara penggarongan dan azan subuh, antara perzinahan terbuka dan perzinahan tertutup.Agak sulit mencari orang normal. sebagian terlalu fanatik, sebagian lain dekaden. Aku jadi maklum kenapa kawanku jadi jenuh. Ia tidak menerima mereka sebagaimana adanya. Ia mencari yang baik-baik saja, dan itu memang
sulit, dan bisa jadi malahan tidak ada. Sedangkan kalau ada, mungkin juga tidak menarik dan tidak menyenangkan. Kata orang, dunia memang mengecewakan. Dunia menjadi buruk karena ulah manusia. Dia memang makin lama makin pesimistis. Aku melihat ia agak kacau. Dan aku jadi
makin penasaran saja. Ke mana dia, kenapa tidak ada seorang pun yang tahu? Kenapa pula ia harus menghilang?
terlindung. Bisa kudengar bisik-bisik sekongkol politik, kasak-kusuk para penyebar gosip. Bisa kulihat para penipu diri beraksi. Antara strip-tease dan lonceng gereja, antara penggarongan dan azan subuh, antara perzinahan terbuka dan perzinahan tertutup.Agak sulit mencari orang normal. sebagian terlalu fanatik, sebagian lain dekaden. Aku jadi maklum kenapa kawanku jadi jenuh. Ia tidak menerima mereka sebagaimana adanya. Ia mencari yang baik-baik saja, dan itu memang
sulit, dan bisa jadi malahan tidak ada. Sedangkan kalau ada, mungkin juga tidak menarik dan tidak menyenangkan. Kata orang, dunia memang mengecewakan. Dunia menjadi buruk karena ulah manusia. Dia memang makin lama makin pesimistis. Aku melihat ia agak kacau. Dan aku jadi
makin penasaran saja. Ke mana dia, kenapa tidak ada seorang pun yang tahu? Kenapa pula ia harus menghilang?
(Jakarta, 1980)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar