Sabtu, 27 April 2013

Penjaga Malam dan Tiang Listrik


IA selalu menjaga malam, agar malam tetap menjadi malam seperti yang
paling dimungkinkan oleh malam. Ia menjaga malam, agar bulan tetap
menjadi rembulan seperti yang dipandang manusia dari bumi setiap
malam. Ia menjaga malam, agar tikus tetap menjadi tikus yang keluar
dari got, merayap di tengah pasar, mencari makanan dalam kegelapan.
Itulah tugas sang penjaga malam, betul-betul menjaga malam yang kelam
agar tetap menghitam, sehingga bayang-bayang bisa berkeliaran tanpa
pernah kelihatan, mengendap-endap tanpa suara dalam penyamaran.
Malam memang selalau samar dan ia harus tetap menjaganya agar tetap
samar-samar. Segala seuatu serba samar-samar di malam hari, seperti
kita melihat pencuri, tapi tidak pernah tahu bahwa bagaimana ia
mencuri. Adalah menjadi tugasnya agar sepanjang malam yang kelam para
pencuri tetap bisa bergerak bebas dalam kegelapan, berkelebat
menghindari cahaya bulan, menyelinap ke balik pohon-pohon hitam,
merayap di tembok seperti cecak, membongkar jendela, dan memasuki
ruangan. Malam tanpa pencurian bukanlah malam. Malam tanpa
pengkhianatan bukanlah malam. Tugasnya adalah menjaga agar malam
tetap menjadi kegelapan yang menguji kesetiaan.
Beberapa Saat menjelang tengah malam, dalam kegelapan dan embun
malam, ia akan keluar dari gardu, melangkah dari rumah ke rumah untuk
mengetahui apakah semuanya berjalan seperti malam. Dari sebuah
jendela ia akan mendengar blues, dari jendela lain ia akan mendengar
tangisan, dan dari jendela lain lagi akan didengarnya lenguhan
tertahan-tahan dalam permainan cinta yang menggetarkan. Ia akan
berjalan perlahan-lahan sepanjang kompleks perumahan yang sepi,
memperhatikan bagaimana cahaya bulan menyepuh aspal jalanan,
mendekati tiang listrik.
Akan diusapnya tiang listrik itu, dan mipukulnya tiang listrik itu
dengan batu, sampai dua belas kali.
Tentu saja ini menimbulkan sejumlah pertanyaan: apakah yang
membuatnya begitu perlu untuk memukul tiang listrik itu sampai dua
belas kali? Apakah memang para penghuni kompleks itu meras begitu
perlunya untuk mengetahui waktu pada tengah malam? Jika mereka ingin
mengetahui waktu, apakah mereka sendiri tidak punya arloji di dekat
tempat tidur, wekerm atau jam dinding dengan burung di dalamnya yang
akan keluar dan berkukuk dua belas kali saat tengah malam? Apakah
memang menjadi tugas seoarng penjaga malam untuk memukul tiang
listrik dari jam ke jam? Tidakkah semestinya ia menjaga ketenangan
agar tidak seorang penghuni pun terbangun selewat tengah malam hanya
karena mendengar tiang listrik dipukul orang? Itulah pertanyaannya:
mengapa seorang penjaga malam harus memukul tiang listrik setiap jam?
Penjaga malam itu selalu memukul tiang listrik dengan batu dari jam
ke jam. Setiap kali ia memukul rtiang listrik dengan batu, selalu ada
saja penghuni kompleks perumahan itu terbangun, meski tidak bertanya-
tanya lagi apa memang ada orang yang begitu perlunya mendengar tiang
listrik dipukul seorang penjaga malam untuk mengetahui jam.
Sejam telah berlalu. Tiba saatnya penjaga malam itu harus memukul
tiang listrik sebanyak satu kali saja. Ia keluar dari gardunya,
melangkah ke tiang listrik terdekat. Namun seorang lelaki yang tidak
dikenalnya berdiri di dekat tiang listrik itu.
“Maaf, saya mau memukul tiang listrik itu,” katanya.
Lelaki itu tidak beranjak.
“Aku ada di sini memang untuk menghalangimu, wahai penjaga malam.”
Lelaki itu tersenyum-senyum mendekapkan tangan. Ia bersandar di tiang
listrik sambil memperhatikan sikp penjaga malam.
Adapun penjaga malam itu hanya memikirkan waktu. Ia harus memukul
tiang listrik satu kali tepat pada pukul 01:00. Jika terlambat, ia
tidak tahu caranya memukul tiang listrik untuk mengabarkan waktu
telah tiba pada pukul 01:01. Ia juga tidak pernah dan tidak akan
pernah bisa melompatinya sampai pukul 02:00 saja. Tidak mungkin.
Tidak akan pernah mungkin. Kecuali dunia kiamat – tapi sekarang kan
belum?
Waktunya tidak banyak. Ia berlari ke tiang listrik yang lain, tapi
tiba-tiba saja lelaki itu sudah berada di tiang listrik juga, memang
dengan sengaja menghalanginya.
Penjaga malam itu merasa sangat gelisah. Ia berlari lagi ke tiang
listrik lain. Ternyata lelaki itu pun sudah ada di sana. Wajahnya
tersembunyi di balik topi lebar, mendekapkan tangan tenang-tenang,
tersenyum-senyum melihat kegelisahan penjaga malam itu masih bisa
melihat senyum dikulum pada mulutnya yang mengejek.
Waktunya tinggal sedikit.
“Minggirlah,” katanya, “aku harus memukul tiang listrik itu satu
kali.”
Lelaki itu tidak minggir, dari mulutnya masih terlihat senyuman, yang
bukan hanya mengejek, tapi juga menghina.
Penjaga malam itu mengambil pisau belati yang selalu tergantung di
pinggangnya. Senjata tajam itu sudah berkarat, maka tidak ada yang
berkilat di bawah cahaya bulan.
“Minggirlah, aku tidak punya waktu lagi,” katanya.
Lelaki itu tidak beranjak.
“Aku di sini untuk menghalangimu,” katanya. “Lakukanlah apa yang
harus kamu lakukan.”
Penjaga malam itu menggerakkan pisaunya.
Kemudian, seorang perempuan yang tidak bisa tidur karena patah hati,
mendengar tiang listrik dipukul batu sebanyak satu kali. Suaranya
bergema di tengah malam yang sunyi. Tepat pada waktunya.***
Pondok Aren, Jumat 15 November 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar