Minggu, 21 April 2013

Proposal


ANALISIS PERBEDAAN TOKOH UTAMA WANITA DALAM NOVEL “BELENGGU”
KARYA ARMIJN PANE

Tugas Proposal
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Nilai Mata Kuliah
Bahasa Indonesia 2
 







Oleh :
MALA NOPITA SARI
NIM : 2011070012


UNIVERSITAS PAMULANG
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
2012

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Secara etimologi dapat ditinjau bahwa kata sastra dalam kehidupan sehari-hari disebut juga kesusastraan berasal dari bahasa sansekerta. Kata dasar kesusastraan ialah sastra yang berarti tulisan, karangan. Sastra mendapat awalan sehingga meknanya menjadi tulisan atau karangan yang indah. Sastra juga dapat diartikan sebagai tulisan, karangan, bahasa atau kata-kata yang memiliki nilai estetika atau keindahan. Beberapa fungsi sastra diantaranya adalah menghibur dan bermanfaat. Sastra menghibur dengan cara menyajikan keindahan, memberikan makna terhadap kehidupan (kematian, kesengsaraan, maupun kegembiraan), atau memberikan pelepasan ke dunia imajinasi.[1] Sehingga dapat meracuni tanpa kita sadari.
Sastra juga merupakan suatu ilmu. Istilah ilmu sastra dalam bahasa inggris General Literature atau Literary Study. Di Indonesia istilah ilmu sastra dipadankan dengan studi sastra, kajian sastra, pengkajian sastra dan telaah sastra. Dalam pengantar ilmu sastra : Teori sastra, Badrun berpengertian bahwa ilmu sastra, ilmu yang menyelidiki sastra secara ilmiah.[2] Dalam kamus istilah Sastra Indonesia, Eddy berpengertian bahwa ilmu sastra segala bentuk dan cara pendekatan terhadap karya sastra dan gejala sastra (1991 : 96). Dalam kamus sastra, Eneste berpengertian bahwa ilmu sastra adalah bidang keilmuan yang obyek utamanya adalah Karya Sastra (1994 : 47). Jadi dapat disimpulkan bahwa ilmu sastra adalah ilmu yang menyelidiki karya sastra secara ilmiah dengan berbagai gejalan dan masalah sastra.[3]
Karya sastra diciptakan bukan semata-mata untuk tujuan praktis dan pragmatis[4], meskipun di dalam karya sastra terdapat ajaran moral, karya sastra tidak sama seperti mata pelajaran moral di sekolah-sekolah. Karya sastra adalah anak kehidupan kreatif seorang penulis dan mengungkapan pribadi pengarang (Salden, 1985:52).[5]
Karya sastra merupakan hasil proses kreatifitas. Karya sastra bukanlah hasil pekerjaan yang memerlukan keterampilan semata. Seperti membuat sepatu, kursi, atau meja. Karya sastra memerlukan perenungan, pengendapan ide, pematangan. Langkah-langkah tertentu yang akan berbeda antara Sastrawan satu dengan Sastrawan yang lain. Karya sastra memerlukan bakat, intelektualitas, wawasan kesastraan, sikap terbuka, jujur dan syarat lainnya.[6]
Bentuk dan gaya sastra adalah khas, khas disini dimaksud sebagai bentuk dan gaya yang berbeda dengan bentuk dan gaya nonsastra. khas disini juga masih harus dibedakan atas genre karya sastra seperti (puisi, prosa, dan drama) yang setiap jenisnya memang mempunyai bentuk sendiri. Bahasa yang digunakan dalam karya sastra memiliki kesamaan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, tatapi bahasa yang ada di dalam karya sastra telah mengalami deviasi (penyimpangan) dan distorsi (pemutar balikan) dari bahasa praktis sehari-hari. Bahasa praktis digunakan untuk tindak komunikasi, sedangkan bahasa sastra tidak mempunyai fungsi praktis.[7]
Sebagaian orang menjadikan karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan pesan tentang apa-apa yang terjadi pada masanya. Menurut Yudiono K.S. (2007:27) “dalam hal sastra, sebuah karya sastra dapat diterangkan atau di telaah secara tuntas apabila di ketahui asal usulnya yang bersumber pada riwayat hidup pengarang dan zaman yang melingkupinya”.[8]
Kita juga dapat membicarakan sastra secara umum misalnya berdasarkan aktivitas manusia tanpa mempertimbangkan budaya, suku, maupun bangsa. Karya sastra dipandang sebagai suatu yang dihasilkan dan dinikmati. Orang-orang tertentu pada masyarakat dapat menghasilkan karya sastra, sedangkan orang lain dalam jumlah yang besar dapat menikmati karya sastra itu dengan cara mendengar atau membacanya. Karena karya sastra dapat disajikan dalam berbagai cara seperti, langsung di ucapkan atau lisan, lewat radio, majalah buku dan sebagainya.
Bahasa baik lisan maupun tulisan, merupakan bahan pokok karya sastra. Dengan perkataan lain, karya sastra mengandung kumpulan dari bentuk bahasa yang digunakan dalam berbagai pola yang sistematik. Untuk menyampaikan segala ide atau gagasan. Jadi karya sastra itu adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya mengguanakan bahasa sebagai mediumnya.
Karya sastra dapat di dekati dari dua segi yang cukup berbeda, sampai sekarang terutama dibicarakan masalah yang berkaitan dengan sastra sebagai seni bahasa. Sastra juga merupakan bentuk seni, jadi dapat didekati dari aspek keseniannya, dalam kaitannya dan pertentangganya dengan bentuk-bentuk seni lain. Dari segi inilah ilmu sastra merupakan cabang ilmu seni atau estetika. Dari segala apa yang telah dikatakan jelaslah pemahaman atas sebuah karya sastra tidak mungkin tanpa pengetahuan, sedikit banyaknya, mengenai kebudayaan yang melatarbelakangi karya sastra tersebut dan tidak langsung terungkap dalam sistem tanda bahasanya.[9]
Menurut genrenya karya sastra dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: prosa (fiksi), puisi dan drama. Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi, teks (naratif), atau wacana naratif (Nurgiantoro, 1995: 2). Hal ini berarti prosa (fiksi) merupakan cerita rekaan yang tidak didasarkan pada kebenaran sejarah Abrams (Nurgiantoro, 1995: 2). Puisi ialah karangan yang terikat, puisi sering disebut juga sajak (Ambary, 1983: 12). Sedangkan drama secara umum dapat dikatakan mendekati atau bahkan dapat diidentifikasi dengan fiksi. Dari ketiga jenis genre sastra tersebut penulis hanya memfokuskan kejiannya pada prosa fiksi. Salah satu contoh prosa fiksi tersebut adalah novel.
Novel merupakan salah satu jenis prosa yang mengungkapkan sesuatu secara luas. Berbagai kejadian di dalam kehidupan yang dialami oleh tokh cerita merupakan gejla kejiwaan. Novel merupakan sebuah “struktur organisme” yang kompleks, unik dan mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung. Hal inilah secara lain yang menyebabkan sulitnya pembaca menafsirkan sebuah novel, dan untuk keperluan tersebut dibutuhkan suatu upaya untuk menjelaskannya.
Karya yang dijadikan objek penelitian ini adalah novel Belenggu karya Armijn Pane karena dalam novel inii penggambaran tokoh-tokoh wanita hampir sama dengan tokoh dalam kehidupan nyata. Tokoh wanita dalam novel ini digambarkan sebagai wanita yang ingin menjadi dirinya sendiri dan ingin menentukan masa depannya sendiri.
Armijn Pane telah menghasilkan beberapa karya, antara lain : Gamelan Djiwa (Puisi), bagian Bahasa Djawa, Kebudayaan Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (tahun 1960): Djiwa Berdjiwa (Puisi), diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta (tahun 1939): Belenggu (Novel), diterbitkan oleh Dian Rakyat. Jakarta (tahun 1991): Djinak-Djinak Merpati (Kumpulan Cerpen), diterbitkan oleh Balai Pustaka Jakarta, (tahun 1953): Antara Bumi dan Langit (Drama), dalam Pedoman, 27 Februari 1951. Atas jasa-jasanya dalam bidang seni (sastra), Armijn Pane telah diberi penghargaan Anugrah Seni dari pemerintah tahun 1969.[10]
Dua tokoh utama wanita dalam novel Belenggu mempunyai beberapa kesamaan sifat dan prilaku dengan sifat dan prilaku wanita dalam kehidupan nyata. Satu menginginkan hidup bebas tanpa ada kekangan dan yang satu menginginkan hidup lebih baik dengan orang yang dicintai, serta kedua tokoh tersebut berkeinginan untuk menentukan hidup mereka sendiri. Sumartini adalah seorang wanita modern yang mempunyai masa lalu yang kelam karena bebas bergaul. Dia selalu merana kesepian karena kesibukan suaminya yang tak kenal waktu dalam mengobati orang sakit sehingga melupakan dan membiarkannya dirumah seorang diri. Sedangkan Siti Rohayah adalah seorang wanita yang harus menjalankan kawin paksa. Dia merasa frustasi, sehingga terjerumus kelembah kenistaan. Dia teman modern dokter Sukartono, suami Sumartini, yang sebenarnya kekasihnya waktu muda.
Novel Belenggu mempunyai daya tarik tersendiri karena menampilkan permasalahan perempuan yang berkaitan dengan pandangan masyarakat pada tahun 1940-an yang secara tidak langsung merugikan kaum perempuan. Pandangan tersebut berasal dari paham masyarakat yang mengaggap kekuasaan sepenuhnya berada di tangan laki-laki. Novel Belenggu ditulis di era 1940-an ketika arus pemikiran tidak progresif seperti masa kini, mampu mengungkapkan tema tersebut hingga menjadi sebuah pendekatan di antara kalangan sastrawan sendiri.
Wanita Indonesia sudah sejak lama menjadi pusat perhatian para pujangga. Bahkan, tradisi penulisan novel di dunia Sastra Indonesia diawali dengan tokoh utama wanita melalui Novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Novel tersebut kemudian disusul oleh sebuah novel yang judulnya Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Novel ini dalam perkembangan selanjutnya seolah-olah menjadi mitos perjuangan wanita Indonesia. Demikian juga novel Salah Asuhan, Salah Pilih, Layar Terkembang, dan Belenggu (Suaka, 2003).
Dari beberapa fiksi yang memuat masalah emansipasi, Belenggu merupakan salah satu novel yang cukup menarik untuk diteliti. Hal ini dikarenakan novel ini merupakan novel yang pernah ditolak Balai Pustaka. Kemudian adanya asumsi dalam amsyarakat pada masa itu bahwa seseorang yang berpendidikan tinggi tidak akan mengalami kegagalan dalam membina rumah tangga. Akan tetapi, Armijn membalikkan asumsi tersebut dengan menceritakan apa yang terjadi pada pasangan dokter Sukartono dan Sumartini yang keharmonisan rumah tangga mereka akhirnya kandas. Pandangan Armijn yang meletakkan perempuan mampu tampil di sektor publik dan tidak hanya bekerja di lingkungan rumah tangga saja. Pandangan tersebut sangat bertentangan dengan konvensi masyarakat yang menempatkan posisi perempuan sebagai orang yang lemah dan tidak pantas menempati posisi sosial di atas laki-laki.[11]

1.2.   Permasalahan
1.2.1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan tersebut, maka permasalahan yang dapat diidentifikasikan adalah sebagai berikut :
1.    Bagaimanakah karakter tokoh wanita dalam novel Belenggu  ?
2.    Bagaimanakah struktur kepribadian dua tokoh wanita dalam novel Belenggu ?
3.    Dimanakah letak perbedaan kepribadian kedua tokoh wanita dalam novel Belenggu ?



1.2.2. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah ini dilakukan agar penelitian tidak keluar dari rencana yang di tetapkan sebelumnya sehingga penelitian akan terfokus pada masalah pokok yang akan diuraikan dalam penelitian.
Berdasarkan identifikasi masalah, maka pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah kajian tentang unsur karakteristik tokoh wanita dalam novel “Belenggu” karya Armijn Pane.


1.2.3. Perumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah dan pembatasan masalah maka rumusan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.    Mendeskripsikan karakter tokoh wanita dalam novel Belenggu.
2.    Mendeskripsikan struktur kepribadian tokoh wanita dalam novel Belenggu.
3.    Mendeskripsikan letak perbedaan kepribadian kedua tokoh wanita dalam novel Belenggu.

1.3.   Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan penelitian adalah untuk memberikan pengetahuan tentang pengaruh kepribadian atau unsur psikologi yang terdapat dalam cerita novel Belenggu. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :
1.    Untuk memperoleh deskripsi karakter tokoh wanita dalam novel Belenggu.
2.    Memberikan penjelasan tentang letak perbedaan kepribadian kedua tokoh wanita dalam novel Belenggu.

1.4.   Manfaat Penelitian
1.    Penelitian ini di harapkan dapat menambah wawasan setiap pembaca
2.    Penelitian ini dapat bermanfaat untuk penelitian dan menambah wawasan serta khasanah ilmu pengetahuan.
3.    Bagi pembaca, dapat bermanfaat untuk memahami karya sastra dalam bentuk novel.
4.    Bagi setiap pengajar, penelitian ini dapat memberikan gambaran atau pengertian tentang makna psikologi untuk bahan ajar.
5.    Bagi peminat sastra penelitian ini sekiranya dapat dijadikan acuan dalam pengetahuan yang dimilikinya.
6.    Bagi mahasiswa sastra Indonesia khususnya di Universitas Pamulang penelitian ini diharapkan dapat memberikan motivasi bahwa karya sastra khususnya novel dapat bermanfaat untuk pengetahuan.

















DAFTAR PUSTAKA

Antilan, Purba. 2010. Pengantar Ilmu Sastra. Medan: USU Press.
Budianta, Melani dkk. 2003. Membaca Sastra. Magelang: Indonesia Tera.
K.S, Yudiono. 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo.
Phianz1989, tokoh-utama-wanita-dalam-novel-belenggu, http://phianz1989.blogspot.com, diakses pada 22 juni 2011, 11:52.
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo.
Teeuw .A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.



[1] Melani Budianta, dkk. Membaca Sastra, (Magelang: Indonesia Tera, 2003), hal. 19.
[2] Purba Antilan, Pengantar Ilmu Sastra, (Medan : USU Press, 2010), hal. 1
[3] Ibid, hal. 2.
[4] Pragmatis adalah merupakan pendekatan yang memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalui pragmatis.
[5] Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), hal. 67.
[6] Ibid, hal. 74.
[7] Ibid, hal. 76.
[8] Yudiono K.S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: PT. Grasindo, 2007), hal. 27.
[9] A. Teeuw, Sastera Dan Ilmu Sastera, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 2003), hal. 285.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar