ANALISIS PERBEDAAN TOKOH UTAMA
WANITA DALAM NOVEL “BELENGGU”
KARYA ARMIJN PANE
KARYA ARMIJN PANE
Tugas
Proposal
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Nilai Mata Kuliah
Bahasa Indonesia 2
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Nilai Mata Kuliah
Bahasa Indonesia 2
Oleh
:
MALA
NOPITA SARI
NIM
: 2011070012
UNIVERSITAS
PAMULANG
FAKULTAS
SASTRA
JURUSAN
SASTRA INDONESIA
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Secara etimologi dapat ditinjau bahwa
kata sastra dalam kehidupan sehari-hari disebut juga kesusastraan berasal dari
bahasa sansekerta. Kata dasar kesusastraan ialah sastra yang berarti tulisan,
karangan. Sastra mendapat awalan sehingga meknanya menjadi tulisan atau
karangan yang indah. Sastra juga dapat diartikan sebagai tulisan, karangan,
bahasa atau kata-kata yang memiliki nilai estetika atau keindahan. Beberapa
fungsi sastra diantaranya adalah menghibur dan bermanfaat. Sastra menghibur
dengan cara menyajikan keindahan, memberikan makna terhadap kehidupan
(kematian, kesengsaraan, maupun kegembiraan), atau memberikan pelepasan ke
dunia imajinasi.[1]
Sehingga dapat meracuni tanpa kita sadari.
Sastra juga merupakan suatu ilmu.
Istilah ilmu sastra dalam bahasa inggris General
Literature atau Literary Study.
Di Indonesia istilah ilmu sastra dipadankan dengan studi sastra, kajian sastra,
pengkajian sastra dan telaah sastra. Dalam pengantar ilmu sastra : Teori
sastra, Badrun berpengertian bahwa ilmu sastra, ilmu yang menyelidiki
sastra secara ilmiah.[2]
Dalam kamus istilah Sastra Indonesia, Eddy berpengertian bahwa ilmu sastra
segala bentuk dan cara pendekatan terhadap karya sastra dan gejala sastra (1991
: 96). Dalam kamus sastra, Eneste berpengertian bahwa ilmu sastra
adalah bidang keilmuan yang obyek utamanya adalah Karya Sastra (1994 : 47). Jadi dapat disimpulkan bahwa ilmu sastra
adalah ilmu yang menyelidiki karya sastra secara ilmiah dengan berbagai gejalan
dan masalah sastra.[3]
Karya sastra diciptakan bukan semata-mata
untuk tujuan praktis dan pragmatis[4],
meskipun di dalam karya sastra terdapat ajaran moral, karya sastra tidak sama
seperti mata pelajaran moral di sekolah-sekolah. Karya sastra adalah anak
kehidupan kreatif seorang penulis dan mengungkapan pribadi pengarang (Salden,
1985:52).[5]
Karya sastra merupakan hasil proses
kreatifitas. Karya sastra bukanlah hasil pekerjaan yang memerlukan keterampilan
semata. Seperti membuat sepatu, kursi, atau meja. Karya sastra memerlukan
perenungan, pengendapan ide, pematangan. Langkah-langkah tertentu yang akan
berbeda antara Sastrawan satu dengan Sastrawan yang lain. Karya sastra
memerlukan bakat, intelektualitas, wawasan kesastraan, sikap terbuka, jujur dan
syarat lainnya.[6]
Bentuk dan gaya sastra adalah khas, khas
disini dimaksud sebagai bentuk dan gaya yang berbeda dengan bentuk dan gaya
nonsastra. khas disini juga masih harus dibedakan atas genre karya sastra
seperti (puisi, prosa, dan drama) yang setiap jenisnya memang mempunyai bentuk
sendiri. Bahasa yang digunakan dalam karya sastra memiliki kesamaan yang
digunakan dalam kehidupan sehari-hari, tatapi bahasa yang ada di dalam karya
sastra telah mengalami deviasi (penyimpangan) dan distorsi (pemutar balikan)
dari bahasa praktis sehari-hari. Bahasa praktis digunakan untuk tindak
komunikasi, sedangkan bahasa sastra tidak mempunyai fungsi praktis.[7]
Sebagaian orang menjadikan karya sastra
sebagai sarana untuk menyampaikan pesan tentang apa-apa yang terjadi pada
masanya. Menurut Yudiono K.S. (2007:27) “dalam hal sastra, sebuah karya sastra
dapat diterangkan atau di telaah secara tuntas apabila di ketahui asal usulnya
yang bersumber pada riwayat hidup pengarang dan zaman yang melingkupinya”.[8]
Kita juga dapat membicarakan sastra
secara umum misalnya berdasarkan aktivitas manusia tanpa mempertimbangkan
budaya, suku, maupun bangsa. Karya sastra dipandang sebagai suatu yang
dihasilkan dan dinikmati. Orang-orang tertentu pada masyarakat dapat
menghasilkan karya sastra, sedangkan orang lain dalam jumlah yang besar dapat
menikmati karya sastra itu dengan cara mendengar atau membacanya. Karena karya
sastra dapat disajikan dalam berbagai cara seperti, langsung di ucapkan atau
lisan, lewat radio, majalah buku dan sebagainya.
Bahasa baik lisan maupun tulisan,
merupakan bahan pokok karya sastra. Dengan perkataan lain, karya sastra
mengandung kumpulan dari bentuk bahasa yang digunakan dalam berbagai pola yang
sistematik. Untuk menyampaikan segala ide atau gagasan. Jadi karya sastra itu
adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah
manusia dan kehidupannya mengguanakan bahasa sebagai mediumnya.
Karya sastra dapat di dekati dari dua
segi yang cukup berbeda, sampai sekarang terutama dibicarakan masalah yang
berkaitan dengan sastra sebagai seni bahasa. Sastra juga merupakan bentuk seni,
jadi dapat didekati dari aspek keseniannya, dalam kaitannya dan pertentangganya
dengan bentuk-bentuk seni lain. Dari segi inilah ilmu sastra merupakan cabang
ilmu seni atau estetika. Dari segala apa yang telah dikatakan jelaslah pemahaman
atas sebuah karya sastra tidak mungkin tanpa pengetahuan, sedikit banyaknya,
mengenai kebudayaan yang melatarbelakangi karya sastra tersebut dan tidak
langsung terungkap dalam sistem tanda bahasanya.[9]
Menurut genrenya karya sastra dapat
dibagi menjadi tiga, yaitu: prosa (fiksi), puisi dan drama. Prosa dalam
pengertian kesastraan juga disebut fiksi, teks (naratif), atau wacana naratif
(Nurgiantoro, 1995: 2). Hal ini berarti prosa (fiksi) merupakan cerita rekaan
yang tidak didasarkan pada kebenaran sejarah Abrams (Nurgiantoro, 1995: 2).
Puisi ialah karangan yang terikat, puisi sering disebut juga sajak (Ambary,
1983: 12). Sedangkan drama secara umum dapat dikatakan mendekati atau bahkan
dapat diidentifikasi dengan fiksi. Dari ketiga jenis genre sastra tersebut
penulis hanya memfokuskan kejiannya pada prosa fiksi. Salah satu contoh prosa
fiksi tersebut adalah novel.
Novel merupakan salah satu jenis prosa
yang mengungkapkan sesuatu secara luas. Berbagai kejadian di dalam kehidupan
yang dialami oleh tokh cerita merupakan gejla kejiwaan. Novel merupakan sebuah
“struktur organisme” yang kompleks, unik dan mengungkapkan sesuatu secara tidak
langsung. Hal inilah secara lain yang menyebabkan sulitnya pembaca menafsirkan
sebuah novel, dan untuk keperluan tersebut dibutuhkan suatu upaya untuk
menjelaskannya.
Karya yang dijadikan objek penelitian
ini adalah novel Belenggu karya
Armijn Pane karena dalam novel inii penggambaran tokoh-tokoh wanita hampir sama
dengan tokoh dalam kehidupan nyata. Tokoh wanita dalam novel ini digambarkan
sebagai wanita yang ingin menjadi dirinya sendiri dan ingin menentukan masa
depannya sendiri.
Armijn Pane telah menghasilkan beberapa
karya, antara lain : Gamelan Djiwa (Puisi), bagian Bahasa Djawa, Kebudayaan
Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (tahun 1960): Djiwa Berdjiwa
(Puisi), diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta (tahun 1939): Belenggu
(Novel), diterbitkan oleh Dian Rakyat. Jakarta (tahun 1991): Djinak-Djinak
Merpati (Kumpulan Cerpen), diterbitkan oleh Balai Pustaka Jakarta, (tahun
1953): Antara Bumi dan Langit (Drama), dalam Pedoman, 27 Februari 1951. Atas
jasa-jasanya dalam bidang seni (sastra), Armijn Pane telah diberi penghargaan
Anugrah Seni dari pemerintah tahun 1969.[10]
Dua tokoh utama wanita dalam novel
Belenggu mempunyai beberapa kesamaan sifat dan prilaku dengan sifat dan prilaku
wanita dalam kehidupan nyata. Satu menginginkan hidup bebas tanpa ada kekangan
dan yang satu menginginkan hidup lebih baik dengan orang yang dicintai, serta
kedua tokoh tersebut berkeinginan untuk menentukan hidup mereka sendiri.
Sumartini adalah seorang wanita modern yang mempunyai masa lalu yang kelam
karena bebas bergaul. Dia selalu merana kesepian karena kesibukan suaminya yang
tak kenal waktu dalam mengobati orang sakit sehingga melupakan dan
membiarkannya dirumah seorang diri. Sedangkan Siti Rohayah adalah seorang
wanita yang harus menjalankan kawin paksa. Dia merasa frustasi, sehingga
terjerumus kelembah kenistaan. Dia teman modern dokter Sukartono, suami
Sumartini, yang sebenarnya kekasihnya waktu muda.
Novel Belenggu mempunyai daya tarik
tersendiri karena menampilkan permasalahan perempuan yang berkaitan dengan
pandangan masyarakat pada tahun 1940-an yang secara tidak langsung merugikan
kaum perempuan. Pandangan tersebut berasal dari paham masyarakat yang mengaggap
kekuasaan sepenuhnya berada di tangan laki-laki. Novel Belenggu ditulis di era
1940-an ketika arus pemikiran tidak progresif seperti masa kini, mampu
mengungkapkan tema tersebut hingga menjadi sebuah pendekatan di antara kalangan
sastrawan sendiri.
Wanita Indonesia sudah sejak lama
menjadi pusat perhatian para pujangga. Bahkan, tradisi penulisan novel di dunia
Sastra Indonesia diawali dengan tokoh utama wanita melalui Novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar.
Novel tersebut kemudian disusul oleh sebuah novel yang judulnya Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Novel
ini dalam perkembangan selanjutnya seolah-olah menjadi mitos perjuangan wanita
Indonesia. Demikian juga novel Salah Asuhan, Salah Pilih, Layar Terkembang, dan
Belenggu (Suaka, 2003).
Dari beberapa fiksi yang memuat masalah emansipasi,
Belenggu merupakan salah satu novel yang cukup menarik untuk diteliti. Hal ini
dikarenakan novel ini merupakan novel yang pernah ditolak Balai Pustaka.
Kemudian adanya asumsi dalam amsyarakat pada masa itu bahwa seseorang yang
berpendidikan tinggi tidak akan mengalami kegagalan dalam membina rumah tangga.
Akan tetapi, Armijn membalikkan asumsi tersebut dengan menceritakan apa yang
terjadi pada pasangan dokter Sukartono dan Sumartini yang keharmonisan rumah
tangga mereka akhirnya kandas. Pandangan Armijn yang meletakkan perempuan mampu
tampil di sektor publik dan tidak hanya bekerja di lingkungan rumah tangga
saja. Pandangan tersebut sangat bertentangan dengan konvensi masyarakat yang menempatkan
posisi perempuan sebagai orang yang lemah dan tidak pantas menempati posisi
sosial di atas laki-laki.[11]
1.2. Permasalahan
1.2.1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah dikemukakan tersebut, maka permasalahan yang dapat
diidentifikasikan adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah karakter tokoh wanita dalam novel Belenggu
?
2.
Bagaimanakah struktur kepribadian dua tokoh wanita
dalam novel Belenggu ?
3.
Dimanakah letak perbedaan kepribadian kedua tokoh
wanita dalam novel Belenggu ?
1.2.2. Pembatasan Masalah
Pembatasan
masalah ini dilakukan agar penelitian tidak keluar dari rencana yang di
tetapkan sebelumnya sehingga penelitian akan terfokus pada masalah pokok yang
akan diuraikan dalam penelitian.
Berdasarkan
identifikasi masalah, maka pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah
kajian tentang unsur karakteristik tokoh wanita dalam novel “Belenggu” karya Armijn Pane.
1.2.3. Perumusan Masalah
Bertolak
dari latar belakang masalah dan pembatasan masalah maka rumusan penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1.
Mendeskripsikan karakter tokoh wanita dalam novel Belenggu.
2.
Mendeskripsikan struktur kepribadian tokoh wanita
dalam novel Belenggu.
3.
Mendeskripsikan letak perbedaan kepribadian kedua
tokoh wanita dalam novel Belenggu.
1.3. Tujuan
Penelitian
Secara umum,
tujuan penelitian adalah untuk memberikan pengetahuan tentang pengaruh
kepribadian atau unsur psikologi yang terdapat dalam cerita novel Belenggu.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :
1.
Untuk memperoleh deskripsi karakter tokoh wanita dalam
novel Belenggu.
2.
Memberikan penjelasan tentang letak perbedaan
kepribadian kedua tokoh wanita dalam novel Belenggu.
1.4. Manfaat
Penelitian
1.
Penelitian ini di harapkan dapat menambah wawasan
setiap pembaca
2.
Penelitian ini dapat bermanfaat untuk penelitian dan
menambah wawasan serta khasanah ilmu pengetahuan.
3.
Bagi pembaca, dapat bermanfaat untuk memahami karya
sastra dalam bentuk novel.
4.
Bagi setiap pengajar, penelitian ini dapat memberikan
gambaran atau pengertian tentang makna psikologi untuk bahan ajar.
5.
Bagi peminat sastra penelitian ini sekiranya dapat
dijadikan acuan dalam pengetahuan yang dimilikinya.
6.
Bagi mahasiswa sastra Indonesia khususnya di
Universitas Pamulang penelitian ini diharapkan dapat memberikan motivasi bahwa
karya sastra khususnya novel dapat bermanfaat untuk pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Antilan,
Purba. 2010. Pengantar Ilmu Sastra.
Medan: USU Press.
Budianta,
Melani dkk. 2003. Membaca Sastra.
Magelang: Indonesia Tera.
K.S,
Yudiono. 2007. Pengantar Sejarah Sastra
Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo.
Phianz1989,
tokoh-utama-wanita-dalam-novel-belenggu, http://phianz1989.blogspot.com, diakses
pada 22 juni 2011, 11:52.
Siswanto,
Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra.
Jakarta: Grasindo.
Teeuw
.A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera.
Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
[1]
Melani Budianta, dkk. Membaca Sastra,
(Magelang: Indonesia Tera, 2003), hal. 19.
[2]
Purba Antilan, Pengantar Ilmu Sastra,
(Medan : USU Press, 2010), hal. 1
[3]
Ibid, hal. 2.
[4]
Pragmatis adalah merupakan pendekatan yang memberikan perhatian utama terhadap
peranan pembaca. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca,
maka masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalui pragmatis.
[5] Wahyudi
Siswanto, Pengantar Teori Sastra,
(Jakarta: Grasindo, 2008), hal. 67.
[6]
Ibid, hal. 74.
[7]
Ibid, hal. 76.
[8]
Yudiono K.S, Pengantar Sejarah Sastra
Indonesia, (Jakarta: PT. Grasindo, 2007), hal. 27.
[9] A.
Teeuw, Sastera Dan Ilmu Sastera,
(Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 2003), hal. 285.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar